AKTIVITAS ekonomi yang telah berlangsung berabad-abad menimbulkan dampak yang buruk bagi lingkungan. Pembakaran lahan, pembakaran bahan bakar fosil, dan produksi semen menghasilkan gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan global warming (Marron, Toder, & Austin, 2015).
Emisi gas tersebut menumpuk di atmosfir dan memerangkap panas, menciptakan potensi ancaman bagi ekonomi dan lingkungan, seperti naiknya permukaan laut, risiko kesehatan manusia, berkurangnya produktivitas pertanian, kerusakan ekosistem, dan risiko perubahan iklim (IPCC, 2014). Perubahan iklim dapat menyebabkan konsekuensi buruk bagi keberlangsungan hidup manusia dan aktivitas sosial ekonomi yang pada akhirnya mempengaruhi output ekonomi global (OECD, 2017).
Terjadinya Global warming telah mendorong banyak pihak untuk menyoroti permasalahan tersebut. Bahkan, salah satu penerima Nobel Ekonomi 2018 William D. Nordhaus, pada 1970 telah meneliti keterkaitan antara ekonomi dan perubahan iklim. Terpilihnya Nordhaus dengan pemikirannya tentang environmental economics di bidang global warming sebagai pesan penting bagi negara-negara untuk mengatasi masalah besar tersebut (NYTimes, 2018).
Penting untuk memberikan pemahaman bahwa polluters penghasil emisi gas rumah kaca harus membayar dampak yang mereka hasilkan terhadap perubahan iklim (Kawakatsu, et al., 2019). Dalam mengatasi masalah atas emisi gas rumah kaca, Nordhaus menyatakan bahwa obat paling efisien adalah dengan skema global pajak karbon (carbon tax) yang diterapkan secara seragam di semua negara (NYTimes, 2018).
Melalui Paris Agreement 2015, sebanyak 196 negara sepakat untuk memerangi perubahan iklim dan mengintensifkan upaya membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celsius. Perjanjian tersebut juga memuat persyaratan bahwa semua pihak harus melaporkan secara rutin tentang tingkat emisi dan upaya implementasinya.
Berbagai negara di dunia telah mengupayakan langkah untuk mengurangi emisi karbon melalui carbon pricing. Sebanyak 57 negara telah mengenakan harga pada karbon baik melalui emission trading system (ETS) maupun pemungutan pajak dari emisi karbon (World Bank, 2019).
Memahami Carbon Tax
CARBON tax adalah pungutan atas kandungan karbon pada bahan bakar fosil. Hampir semua karbon dalam bahan bakar fosil mengeluarkan karbon dioksida (CO2) maka pajak karbon setara atas pajak per unit emisi karbon dioksida (IPCC, 2014).
Terdapat beberapa jenis gas rumah kaca, namun karbon dioksida menyumbang 90% dari total emisi (OECD, 2017). Carbon taxbanyak direkomendasikan oleh ekonom dan organisasi internasional karena memberikan ketetapan tarif yang lebih jelas untuk emisi yang dihasilkan (Marron et al., 2015; World Bank, 2017).
Penerapan carbon tax dapat merubah arah pertumbuhan ekonomi suatu negara menuju ke pertumbuhan ekonomi rendah karbon karena meningkatkan biaya pada energi berbasis karbon sehingga mendorong industri untuk beralih ke energi ramah lingkungan (OECD, 2018).
Lantas, sudah sejauh mana peran negara-negara dalam memitigasi global warming melalui kebijakan pajak karbon?
Penerapan Carbon Tax di Berbagai Negara
ORGANISATION for Economic Co-operation and Development (OECD) menyebutkan bahwa penerapan carbon tax mulai menunjukan tanda di berbagai belahan dunia. Berdasarkan data Carbon Pricing Dashboard, World Bank (2019) sebanyak 24 negara di dunia telah menerapkan carbon tax, satu negara sedang menjadwalkan yaitu Afrika Selatan, dan satu negara yaitu Pantai Gading sedang dalam pertimbangan.
Carbon tax pertama kali diterapkan oleh Finlandia pada 1990, yang kemudian mulai berkembang di berbagai negara pada 2000-an. Beberapa negara seperti Selandia Baru mulai menerapkan carbon tax pada 2005, Irlandia (2010), Jepang (2012), Australia (2012), Inggris (2013), Chili (2014), Portugal (2015), dan China (2017). Di kawasan Asia Tenggara, hanya Singapura yang mulai memberlakukan carbon tax pada 2019 (DDTCNews, 2018).
Jepang membebankan pajak karbon atas emisi dari setiap bahan bakar fosil (gas, minyak , dan batu bara) dengan beban pajak sama dengan 289 Japanese yen atau setara Rp 38.053 per ton emisi CO2 (Kawakatsu, Rudolph, & Lee, 2017). Singapura menerapkan pajak karbon mulai 2019 pada industri hulu seperti pembangkit listrik dan penghasil 25.000 ton atau lebih emisi gas rumah kaca dalam setahun. Dari 2019 hingga 2012 tarif pajak akan ditetapkan berkisar 5 dolar Singapura setara Rp 51.630 per ton emisi CO2, selanjutnya akan dilakukan penyesuaian menjadi 10 sampai 15 dolar atau sekitar Rp103.000 sampai RP 155.000 sebelum 2030 (DDTCNews, 2018).
Pengalaman empiris membuktikan bahwa carbon tax dapat menurunkan tingkat emisi. Hingga 2018, Jepang mampu menurunkan tingkat emisi karbon sebesar 8,2 persen dari tahun 2013 (Reuters, 2018). Survei pajak karbon di Finlandia, Denmark, Belanda, dan Swedia menunjukkan bahwa negara-negara tersebut mempu mengurangi emisi berkisar dari sekitar 1,5% hingga hampir 6%(Marron, 2015).
Namun, jalan menuju cita-cita dunia yang rendah karbon masih panjang. Terlebih, dengan mundurnya Amerika dan Brazil (dalam rencana) dari Paris Agreement. Padahal, Amerika dan Brazil termasuk dalam 20 besar negara penghasil CO2 terbesar di dunia (International Energy Agency, 2018).
Memang, pengenaan pajak karbon di suatu negara dapat menimbulkan polemik karena potensi terjadinya trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat karbon. Seperti penerapan pajak pada umumnya, carbon tax dapat menimbulkan distorsi ekonomi. Ayu (2018) menyebutkan bahwa pajak karbon dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesejahteraan sosial, dan merusak daya saing industri. Oleh karena itu, sebelum mengambil keputusan, mempelajari dan memahami implikasi penerapan pajak karbon di sektor-sektor target merupakan langkah yang penting (World Bank, 2017).
Pajak Karbon sebagai Agenda Global
WALAUPUN memiliki dampak terhadap penurunan tingkat emisi karbon, penerapan pajak karbon belum menjadi agenda bagi banyak negara. Padahal, global warming tidak dapat dicegah apabila tidak ada partisipasi aktif seluruh negara dalam menurunkan emisi karbon.
Mundurnya Amerika dari Paris Agreement pun karena negara lain tidak tunduk pada perjanjian tersebut. Jika seluruh negara berpikir demikian, maka harapan untuk menjaga tingkat emisi karbon yang rendah hanyalah angan-angan belaka. Mengapa dibutuhkan partisipasi aktif seluruh negara?
Pertama, faktor eksternalitas. Eksternalitas timbul karena aktivitas pelaku ekonomi baik produksi maupun konsumsi mempengaruhi kesejahteraan pelaku ekonomi lain (Fisher, 1996). Aktivitas ekonomi di suatu negara yang menghasilkan emisi gas rumah kaca tidak dapat dilacak karena sudah membaur bersama di atmosfir dan mempengaruhi tingkat suhu dunia yang dirasakan oleh seluruh negara.
Kedua, konsep global public goods. Global public goods adalah barang yang manfaatnya mencakup ke semua negara, orang, dan generasi (Kaul, Grunberg, and Stain, 1999). Kondisi alam global seperti atmosfir yang baik merupakan global public goods karena dapat dinikmati oleh setiap pihak di dunia (Kaul dan Mendoza, 2003).
Oleh karena hal tersebut, kerjasama internasional memainkan peran penting. Harmonisasi kebijakan dimaksudkan untuk mendorong negara-negara menginternalisasikan eksternalitas lintas-batas negara (Kaul dan Mendoza, 2003). Bukan tidak mungkin seluruh negara bersepakat dalam penerapan carbon tax, asalkan seluruh negara sudah paham pentingnya menjaga tingkat karbon rendah karena dalam jangka panjang global warming dapat menimbulkan biaya yang lebih besar bagi negara.
Namun, mengapa banyak negara belum mau ikut berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon di negaranya padahal mereka sudah bersepakat dalam Paris Agreement? Mungkin saja Paris Agreement tidak mampu merefleksikan kondisi negara yang sebenarnya masih fokus terhadap pertumbuhan ekonominya sehingga penurunan emisi karbon belum menjadi agenda penting bagi suatu negara. Kekhawatiran yang sama sepertinya juga bisa ditemui dalam konteks Indonesia.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.