PERUBAHAN kebijakan PPN yang mengarah pada perluasan objek atau pengurangan pengecualian sudah menjadi rekomendasi sejumlah lembaga internasional dan berbagai literatur. Langkah itu dinilai dapat meningkatkan penerimaan negara sekaligus meminimalkan distorsi ekonomi.
Laura Abramovsky et al (2017) dalam publikasinya yang berjudul Redistribution, Efficiency, and the Design of VAT: A Review of Theory and Literatur ternyata juga membenarkan hal tersebut. Mungkin membuat kita bertanya, bagaimana pengecualian PPN justru menciptakan distorsi ekonomi?
Menurut Abramovsky et al, adanya barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN justru menciptakan perlakuan asimetris dalam suatu rantai produksi untuk barang dan jasa yang sama. Akibatnya, ada dua kemungkinan yang terjadi.
Pertama, pelaku usaha akan cenderung memilih agar setiap barang yang dijual merupakan barang dan jasa yang dikenakan PPN. Tujuannya adalah agar beban PPN yang sudah dibayarkan atas bahan baku produksinya dapat diteruskan ke konsumen akhir.
Kedua, jika pelaku usaha tidak memiliki pilihan, PPN yang sudah dibayarkan tersebut akan menjadi biaya yang ditanggung olehnya. Selain itu, beban PPN tersebut akan dianggap sebagai harga pokok produksi (HPP) yang akan diperhitungkan sebagai faktor penentu harga sehingga menyebabkan kenaikan harga. Simak ‘Memandang Jernih Rencana Pengenaan PPN atas Barang Kebutuhan Pokok’.
Tak hanya distorsi ekonomi, pengecualian PPN atas barang dan jasa tertentu juga berpeluang menciptakan ketidakpatuhan. Dalam publikasi yang diterbitkan Institute for Fiscal Studies (IFS) pada 2017 itu disebutkan pembedaan perlakuan dengan cara tersebut belum tentu mudah diterapkan di lapangan.
Terus berkembangnya ragam dan jenis produk barang dan jasa akan menciptakan kerancuan apakah barang dan jasa baru tersebut termasuk yang dikecualikan atau tidak. Oleh sebab itu, ketidakpastian juga berpotensi menjadi hal yang timbul antara otoritas dan wajib pajak.
KELOMPOK peneliti IFS tersebut menilai berbagai negara mempertimbangkan pengecualian PPN untuk tujuan keadilan, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan begitu, kelompok barang dan jasa tertentu yang dinilai merupakan konsumsi masyarakat tersebut dikecualikan PPN.
Abramovsky et al justru memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya, upaya tersebut belum tentu dapat terwujud hingga ke lapangan. Faktanya, banyak orang berpenghasilan tinggi juga yang turut mengonsumsi barang dan jasa tersebut.
Sebagai solusinya, penetapan pembedaan tarif bisa menjadi opsi yang dipertimbangkan. Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasi jenis barang dan jasa mana yang tingkat konsumsi masyarakatnya relatif elastis dan inelastis terhadap harga.
Atas kelompok barang dan jasa yang relatif inelastis, dapat diberikan tarif lebih tinggi. Sementara itu, atas kelompok yang bersifat elastis, dapat diberikan tarif lebih rendah. Hal ini juga sekaligus mempertimbangkan barang dan jasa mana yang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan rendah.
Dengan demikian, pembedaan tarif ini dapat mengoptimalkan penerimaan dengan cara yang tidak distortif terhadap ekonomi sekaligus memberikan perlakuan yang adil.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.