BERKEMBANGNYA perekonomian global melalui digitalisasi model bisnis menjadi tantangan tersendiri bagi sistem perpajakan setiap negara. Keberadaan aset tidak berwujud dan inovasi berbasis teknologi menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan penggerusan basis pajak dan pengalihan laba.
Permasalahan ini menjadi tugas yang cukup berat bagi pemerintah setiap negara, khususnya otoritas pajak, untuk menjaga potensi penerimaan pajak yang mungkin hilang. Transaksi ekonomi digital juga menjadi perhatian Organisation for Economic Coo-peration and Development (OECD).
OECD telah memberikan beberapa rekomendasi terkait dengan bisnis berbasis teknologi. Salah satu fenomena ekonomi digital yang tengah menjadi sorotan global adalah penghindaran status Bentuk Usaha Tetap (BUT) oleh perusahaan teknologi multinasional.
Hal ini terlihat dengan dijadikannya BUT sebagai salah satu fokus perhatian dari proyek Base Erosion Profit Shifting (BEPS) yang dikeluarkan OECD untuk memerangi praktik penyulundupan pajak (Law, 2014).
Selain itu, konsep dan definisi BUT juga dituangkan dalam Pasal 5 OECD Model yang menjadi acuan negara-negara dalam membuat Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), sebagai perjanjian bilateral untuk membagi alokasi pemajakan dalam transaksi bisnis lintas batas yurisdiksi.
Pada Oktober 2015, OECD dan G20 melalui laporan proyek BEPS memberikan rekomendasi atas persoalan penghindaran status BUT. Rekomendasi itu dibahas dalam laporan bertajuk Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy, Action 1 : 2015 Final Report.
Laporan BEPS Rencana Aksi 1 yang beririsan dengan BEPS Rencana Aksi 3,7, dan 8-10 tersebut membahas beberapa isu dalam ekonomi digital. Secara garis besar, pembahasan isu terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu pajak penghasilan (direct tax) dan pajak pertambahan nilai (indirect tax).
Isu yang akan dibahas kali ini terkait dengan direct tax, yaitu upaya perusahaan multinasional menghindari taxable presence dengan melakukan interaksi melalui situs web atau cara digital lainnya sehingga tidak menimbulkan BUT di negara sumber.
Penghindaran Status BUT
KETENTUAN pajak yang mengatur status BUT saat ini masih berfokus pada kehadiran fisik sebagai syarat penentuan. Padahal, model bisnis digital lebih banyak menggunakan properti sebagai penunjang kegiatan usahanya.
Sementara itu, keberadaan properti tidak berwujud, seperti software, securities, dan goodwill atau aset tidak berwujud lainya tentu tidak dapat membentuk BUT (Williams, 2014). Dengan adanya teknologi, transaksi bisnis antarnegara terjadi tanpa memerlukan kehadiran fisik.
Sistem online memudahkan pembeli dan penjual bertransaksi tanpa harus bertatap muka. Model bisnis itu memungkinkan seseorang beroperasi di suatu negara sumber dan menghasilkan laba yang signifikan tanpa menimbulkan BUT di negara sumber (Darussalam dan Ngantung, 2017).
Selain itu, penghindaran status BUT dengan taxable presence bisa ditempuh dengan memanfaatkan pengecualian definisi BUT. Caranya adalah melakukan fragmentasi kegiatan usaha agar memenuhi karakter pengecualian BUT, yakni kegiatan persiapan (preparatory) atau penunjang (auxiliary).
Sebagai ilustrasi, A Ltd, subjek pajak dalam negeri (SPDN) negara X, merupakan perusahaan teknologi multinasional yang melakukan penjualan barang secara online. Untuk mengoptimalkan penjualannya, A Ltd mendirikan gudang di negara Y.
Gudang ini berfungsi agar pengiriman barang yang dipesan secara online dapat lebih cepat. Namun, berdasarkan ketentuan pengecualian BUT, keberadaan gudang di negara Y tidak membentuk BUT A Ltd di negara tersebut.
Padahal, jika ditelusuri lebih lanjut, model bisnis A Ltd sangat bergantung pada kepuasan pelanggan dengan pengiriman yang cepat. Dengan kata lain, gudang tersebut memiliki peranan penting serta nilai tambah bagi kelangsungan bisnis A Ltd.
Permasalahan ini menunjukkan ketentuan BUT dengan mengandalkan konsep taxable presence perlu dikembangkan, terutama dalam menghadapi era digital ekonomi. Salah satunya adalah melalui pembaruan konsep nexus.
Pembaruan Konsep Nexus
KARAKTER model bisnis perusahaan teknologi multinasional yang semakin kompleks mendorong dilakukannya evaluasi terhadap penetuan nexus untuk tujuan perpajakan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam BEPS Rencana Aksi 1.
Penentuan nexus menjadi salah satu dari tiga kategori tantangan dalam pemajakan atas ekonomi digital. Penyebabnya, konsep nexus saat ini yang masih berfokus pada kehadiran fisik terlihat tidak cukup relevan di tengah masifnya perkembangan ekonomi digital.
BEPS Rencana Aksi 1 memberikan opsi mendefinisikan ulang BUT berdasarkan kehadiran ekonomi yang signifikan (significant economic presences). Konsep ini bisa menciptakan taxable presence di negara sumber atas dasar interaksi ekonomi melalui teknologi hingga status BUT tak bisa dihindari.
Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan kebijakan memperluas konsep BUT berdasarkan kehadiran ekonomi yang signifikan, khususnya pada pelaku usaha bisnis online melalui instrumen hukum yang tepat.
Perluasan konsep nexus dalam ketentuan domestik dapat menambah opsi bagi otoritas pajak untuk mencegah penghindaran status BUT dari model bisnis digital. Adanya celah dari ketentuan domestik maupun P3B dapat dipersempit melalui eskalasi kebijakan pajak yang lebih agresif.
Di sisi lain, Indonesia masih harus menunggu selesainya Multilateral Instrument (MLI) rekomendasi OECD untuk mencegah penghindaran status BUT berdasarkan P3B. Namun, perlu dicatat MLI belum memasukkan skema pemajakan ekonomi digital karena menunggu rampungnya konsensus global.
Beberapa negara sudah mulai mengambil langkah unilateral terkait pemajakan transaksi ekonomi digital oleh subjek pajak luar negeri (non-resident) atau perusahaan teknologi multinasional yang tidak memiliki BUT.
Misalnya, Inggris dan Australia melalui diverted profit tax atau yang dikenal dengan Google Tax atau India yang menerapkan equalization levy. Selain itu, baru-baru ini Prancis dengan pengesehan GAFA Tax. Namun, aksi unilateral tersebut ternyata mengundang pro dan kontra di dunia internasional.
Indonesia diharapkan memiliki dua instrumen berupa ketentuan domestik yang sesuai dengan konsep BUT di era digitalisasi dan P3B yang dimodifikasi MLI. Kedua instrumen tersebut pada akhirnya dapat diterapkan bersamaan sehingga penghindaran status BUT dan praktik BEPS lain dapat diselesaikan.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.