Ilustrasi. Calon pembeli berjalan di samping salah satu lapak sembako di Pasar Pondok Labu, Jakarta, Senin (9/12/2024). ANTARA FOTO/Zaky Fahreziansyah/app/aww.
JAKARTA, DDTCNews - Potensi penerimaan yang hilang (revenue forgone) dari kebijakan PPN tidak dikenakan atas barang kebutuhan pokok diproyeksi terus meningkat. Potensi ini muncul karena kesengajaan tidak memungut pajak sebagai penerimaan untuk tujuan lain yang dianggap lebih penting (prioritas).
Berdasarkan pada data Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report) 2022 yang dirilis Kementerian Keuangan, estimasi PPN tidak dikenakan atas barang kebutuhan pokok pada 2022 senilai Rp38,6 triliun. Nilai itu sekitar 20,0% dari total belanja perpajakan pos PPN dan PPnBM.
“PPN dibebaskan untuk barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, yakni meliputi beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; gula konsumsi,” bunyi laporan tersebut.
Nilai itu diproyeksi meningkat menjadi Rp42,3 triliun pada 2023, Rp44,9 triliun pada 2024, dan Rp52,1 triliun pada 2025. Adapun keseluruhan belanja perpajakan PPN dan PPnBM juga diproyeksi terus meningkat. Simak ‘Ini Potensi Penerimaan PPN yang Hilang untuk Keberpihakan Masyarakat’.
PPN dibebaskan atas barang kebutuhan pokok merupakan deviasi terhadap tax benchmark PPN, yaitu semua barang dan jasa merupakan objek PPN, kecuali barang/jasa yang telah dikenakan pajak daerah. Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Adapun dasar hukum dari fasilitas ini adalah Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN dan PMK 99/2020; UU HPP; dan PP 49/2022. Sebagai informasi, sejak adanya UU HPP, barang kebutuhan pokok sudah dikeluarkan dari Pasal 4A ayat (2) UU PPN sehingga sudah menjadi BKP.
Namun, meskipun sudah menjadi BKP, barang kebutuhan pokok masih mendapat perlakuan khusus berupa PPN dibebaskan (Pasal 16B UU PPN). Hal ini juga telah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf p dan ayat (2) huruf q PP 49/2022.
Sesuai dengan pasal tersebut, barang tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak dianggap sebagai BKP tertentu yang bersifat strategis. Atas impor dan penyerahan BKP tertentu tersebut dibebaskan dari pengenaan PPN.
“Barang tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat … merupakan barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat,” penggalan Pasal 7 ayat (1) PP 49/2022.
Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) PP 49/2022, jenis barang tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak itu meliputi beras; gabah; jagung; sagu; kedelai; garam; daging; telur; susu; buah-buahan; dan sayur-sayuran.
Adapun kriteria dan/atau perincian jenis barang tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak itu tercantum di Lampiran PP 49/2022. Berikut perinciannya.
Adapun ulasan mengenai PPN ini juga ada dalam 4 buku DDTC. Pertama, Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional. Kedua, Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai. Ketiga, Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Keempat, Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran.
Sebagai informasi kembali, hingga saat ini, DDTC sudah menerbitkan 31 buku. Selain wujud nyata dari komitmen sharing knowledge, hal tersebut juga bagian dari pelaksanaan beberapa misi DDTC, yakni berkontribusi dalam perumusan kebijakan pajak dan mengeliminasi informasi asimetris. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.