PEMERINTAH Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump telah mengesahkan undang-undang yang disebut Tax Cuts and Jobs Act (TCJA). TCJA yang berlaku efektif pada 2018 lalu ini menjadi penanda terjadinya reformasi pajak AS sekaligus merupakan perombakan ulang pertama skema pajak AS yang terjadi setelah lebih dari tiga puluh tahun (Campbell, 2017).
Salah satunya poin penting dari TCJA adalah perubahan sistem pajak dari worldwide ke territorial. Sebelum berubah ke territorial, AS merupakan satu-satunya negara anggota G7 yang menerapkan sistem worldwide. Sementara itu, dari 34 negara anggota OECD, hanya delapan negara yang menganut sistem worldwide dan AS merupakan salah satunya (Matheson, Perry, dan Veung, 2013).
Perubahan itu dilakukan karena worldwide tax system dianggap sudah tidak kompetitif dan cenderung menempatkan AS pada posisi yang tidak menguntungkan dalam kompetisi global. Terkait hal ini, Pemerintah Indonesia hingga saat ini masih menerapkan sistem pajak worldwide.
Lantas, apa yang dimaksud dengan sistem pajak worldwide dan territorial?
Secara umum, negara tempat penghasilan diperoleh (negara sumber) memiliki hak pemajakan pertama atas suatu penghasilan. Sementara itu, negara tempat wajib pajak bertempat tinggal atau berkedudukan (negara domisili) memiliki dua alternatif untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari luar negeri yang diterima oleh subjek pajaknya, yaitu berdasarkan sistem pajak worldwide atau territorial.
Dengan kata lain, dalam konteks pajak internasional, sistem pajak worldwide dan territorial merupakan alternatif utama yang digunakan negara domisili untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima dari luar negeri (Fleming, Peroni, dan Shay, 2008).
Dalam sistem worldwide, suatu negara akan mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri (WPDN) di negara tersebut, tanpa memperhatikan apakah penghasilan tersebut bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Dengan kata lain, apabila suatu badan merupakan WPDN dari negara yang menganut sistem pajak worldwide, badan tersebut akan dikenai pajak terlepas dari sumber penerimaan yang dihasilkan oleh badan tersebut.
Selain mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima oleh WPDN, negara yang menganut sistem pajak worldwide juga mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak luar negeri (WPLN) yang bersumber dari negaranya.
Ketentuan ini memberikan kesimpulan bahwa pada dasarnya dalam sistem pajak worldwide terdapat dua prinsip yang mendasari sistem ini. Prinsip pertama adalah prinsip domisili yang digunakan untuk memajaki penghasilan WPDN. Prinsip kedua adalah prinsip sumber yang digunakan untuk memajaki penghasilan WPLN.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bagi negara yang menerapkan sistem pajak worldwide berlaku ketentuan sebagai berikut:
Sebaliknya, negara dengan sistem pajak territorial hanya mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber atau dianggap bersumber dari negara/yurisdiksinya. Sementara itu, penghasilan yang bersumber dari luar negara tersebut (foreign income), tidak dikenakan pajak. Sistem ini disebut juga dengan istilah full territoriality (Rohatgi, 2005).
Oleh sebab itu, negara yang menganut sistem pajak territorial mempunyai hak untuk mengenakan pajak terhadap semua wajib pajak baik berstatus WPDN maupun WPLN. Namun, hak pemajakan tersebut dibatasi hanya atas penghasilan yang bersumber dari negara tersebut (Avi-Yonah, Sartori, dan Amrian, 2011). Artinya, dalam sistem pajakterritorial, hanya penghasilan yang bersumber dari dalam negeri yang dikenai pajak secara efektif (Hwa See, 2017).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bagi negara yang menerapkan sistem pajak territorial berlaku ketentuan sebagai berikut:
Perbedaan mendasar antara sistem pajak worldwide dan sistem pajak territorial terletak pada perlakuan atas penghasilan yang bersumber dari luar negeri. Sistem pajak worldwide mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari luar negeri, sedangkan sistem pajak territorial tidak. Namun, dalam praktiknya, mayoritas negara tidak ada yang menganut satu sistem pajak secara menyeluruh, melainkan hanya memiliki kecenderungan terhadap salah satunya saja.
Negara yang cenderung menganut sistem pajak worldwide biasanya juga tetap memiliki elemen dari sistem pajak territorial. Misalnya, dengan menerapkan mekanisme penangguhan pajak atas penghasilan yang bersumber dari luar negeri tertentu hingga penghasilan tersebut direpatriasi ke negara domisili. Sebaliknya, negara yang cenderung menganut sistem pajak territorial juga seringkali memiliki elemen dari sistem pajak worldwide. Contohnya, dengan menerapkan batasan terhadap penghasilan luar negeri yang dikecualikan dari pengenaan pajak di negara domisili (Mullins, 2006).
Selain itu, adanya praktik ini menyebabkan timbulnya istilah sistem pajak hybrid, yaitu sistem pajak yang mempunyai elemen worldwide sekaligus elemen territorial. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi gerakan menuju sistem pajak hybrid di banyak negara. Adapun saat ini hampir separuh negara aggota OECD telah menerapkan sistem pajak ini.
Berdasarkan tingkat kecenderungannya, sistem pajak hybrid dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar. Pertama, sistem pajak hybrid yang cenderung worldwide atau disebut sistem pajak hybrid worldwide. Biasanya sistem ini mengacu pada sistem pajak worldwide yang disertai dengan mekanisme penangguhan pajak (worldwide with defferal). Kedua, sistem pajak hybrid yang cenderung territorial atau sistem pajak hybrid territorial. Misalnya, sistem territorial tidak menerapkan pembebasan kepada semua penghasilan luar negeri, melainkan memberikan batasan berdasarkan jenis penghasilan atau wajib pajak yang menerima penghasilan (OECD, 2007).
Dengan kata lain, ketika suatu negara disebut sebagai negara yang menerapkan sistem pajak territorial atau sistem pajak worldwide, tidak dapat diartikan bahwa negara tersebut adalah negara yang telah mengadopsi bentuk murni atau ideal dari sistem pajak territorial atau worldwide. Namun, harus dipahami bahwa penyebutan tersebut mengacu pada karakteristik dominan dari sistem pajak internasional yang diterapkan oleh masing-masing negara tersebut (Fleming, Peroni, dan Shay, 2008).
Sebagai informasi, kajian akademis mengenai sistem pajak worldwide dan territorial ini diulas secara komprehensif dalam publikasi working paper DDTC yang ditulis oleh Darussalam, B. Bawono Kristiaji, dan Khisi Armaya Dhora dengan judul 'Sistem Pemajakan: Dari Worldwide ke Territorial. Bagaimana dengan Indonesia?'.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.