Director of Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji dalam peluncuran Indonesia Economic Prospects (IEP) 2024 oleh World Bank, Senin (16/12/2024).
JAKARTA, DDTCNews - Tingginya beragam threshold yang berlaku menjadi salah satu sebab rendahnya penerimaan pajak dan minimnya partisipasi publik terhadap sistem pajak Indonesia.
Director of Fiscal Research & Advisory DDTC Bawono Kristiaji mengatakan rendahnya partisipasi publik terhadap sistem pajak disebabkan oleh banyaknya tenaga kerja yang tidak terdaftar sebagai wajib pajak akibat tingginya penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang berlaku.
"PTKP senilai Rp54 juta per orang per tahun mudah diadministrasikan. Namun, banyak orang yang tidak terdaftar dalam sistem pajak akibat PTKP tersebut," ujar Bawono dalam peluncuran Indonesia Economic Prospects (IEP) 2024 oleh World Bank pada hari ini, Senin (16/12/2024).
Threshold pengusaha kena pajak (PKP) yang mencapai Rp4,8 miliar per tahun juga menekan jumlah pelaku usaha yang diwajibkan untuk memungut dan menyetorkan PPN. Threshold yang dimaksud jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang berlaku di negara lain.
Oleh karena banyak pelaku usaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP, banyak transaksi dalam perekonomian Indonesia yang tidak tercatat dalam sistem administrasi pajak.
"Ini menimbulkan revenue forgone. Berdasarkan Laporan Belanja Perpajakan yang disusun Kementerian Keuangan, PPN yang tidak dipungut akibat tingginya threshold PKP mencapai Rp56 triliun per tahun," ujar Bawono.
Berkaca pada kondisi ini, pemerintah untuk mulai memetakan dan mereformasi seluruh kebijakan belanja perpajakan yang selama ini membatasi kapabilitas otoritas pajak dalam memperluas basis pajak.
Namun, sebelum melaksanakan reformasi kebijakan pajak, pemerintah perlu meyakinkan publik atas pentingnya reformasi pajak dan hubungannya dengan penerimaan pajak yang berkelanjutan.
"Masalahnya, kontrak fiskal di Indonesia masih belum terimplementasikan dengan baik. Ketika kita bicara soal kontrak fiskal, harus ada hubungan mengenai pajak yang sudah dibayar dan apa yang akan diperoleh wajib pajak di masa yang akan datang," ujar Bawono.
Guna meningkatkan kontrak fiskal dan keyakinan publik terhadap reformasi pajak, pemerintah perlu menjamin terpenuhinya meaningful participation dengan melibatkan masyarakat dalam penyusunan kebijakan pajak.
"Meaningful participation amatlah diperlukan dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Setiap orang dapat memberikan pandangan mengenai masa depan reformasi kebijakan pajak Indonesia," ujar Bawono.
Saat ini, masih terdapat skeptisisme di tengah masyarakat terhadap pentingnya reformasi pajak terhadap pencapaian visi Indonesia Emas 2045. Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah perlu melibatkan wajib pajak sebagai partner strategis dalam perumusan kebijakan.
"Aspek fundamentalnya adalah bagaimana pemerintah memperlakukan wajib pajak sebagai partner strategis, bukan hanya pembayar pajak semata. Seiring berjalannya langkah ini bisa memperbaiki kontrak fiskal di Indonesia sehingga mereka memandang bahwa reformasi pajak bisa memberikan manfaat pada masa yang akan datang," ujar Bawono. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.