Seorang penjual sayuran dan buah menggunakan masker dan alat pelindung wajah saat melayani pembeli di pasar tradisional Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (4/6/2020). Badan Pusat Statistik mengumumkan inflasi nasional pada Mei 2020 hanya sebesar 0,07% (month to month), dengan deflasi harga makanan, minuman dan tembakau minus 0,32%. (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/aww.)
AWAL pekan ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis statistik ekonomi bulan Mei 2020. BPS mencatat, laju inflasi pada momentum Hari Raya Idulfitri itu hanya 0,07% (month to month) atau 2,19% (year on year). Laju inflasi pada momentum Lebaran ini adalah yang terendah sejak 41 tahun terakhir.
Yang lebih fenomenal, untuk harga makanan, minuman dan tembakau malah terjadi deflasi alias minus 0,32%, dengan deflasi khusus subkelompok makanan minus 0,47%. Pada saat yang sama, nilai tukar petani (NTP) bulan Mei anjlok 0,85% ke level 99,47.
Pergerakan laju inflasi kali ini jelas di luar kebiasaan jika dibandingkan dengan periode tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, pada bulan tersebut ada momentum ramadan dan Idulfitri. Pada momentum itu, permintaan biasanya akan meningkat karena berbagai kebutuhan Lebaran.
Menurut Kepala BPS Suhariyanto, penyebab utama rendahnya laju inflasi kali ini adalah kebijakan pembatasan sosial berskala besar. Kebijakan itu membuat aktivitas perekonomian menurun tajam. “Selain itu pendapatan masyarakat juga menurun karena terdampak pandemi Covid-19,” katanya.
Pembatasan sosial berskala besar sebagai respons kebijakan pandemi Covid-19 memang memperlambat aktivitas ekonomi, termasuk produksi barang dan jasa. Hal itu pada gilirannya berdampak pada berkurangnya permintaan tenaga kerja, hingga menurunkan pendapatan masyarakat.
Kita tentu harus mewaspadai pengumuman BPS itu. Deflasi bahan makanan pada momentum Idulfitri adalah kabar buruk, dan semakin buruk dengan menurunnya NTP. Dari data itu juga terlihat, konsumsi rumah tangga berikut daya beli masyarakat cenderung melemah.
Perlu diingat, di Indonesia, deflasi, juga inflasi yang terlalu rendah, sering merefleksikan perlemahan daya beli, bukan keberhasilan pemerintah menjaga pasokan. Sebaliknya inflasi yang terlalu tinggi merefleksikan ketidakmampuan pemerintah menjaga pasokan, bukan peningkatan daya beli.
Dengan deflasi makanan itu, ditambah koreksi ekspor dan investasi berikut prospek kontraksi perekonomian global dan penurunan harga komoditas, hampir pasti kita akan melihat pertumbuhan ekonomi yang menurun pada kuartal II/2020, dan besar kemungkinan berlanjut ke kuartal III/2020.
Lalu, apakah kita akan mengalami resesi, atau pertumbuhan ekonomi negatif? Tunggu dulu. Harapan akan daya tahan perekonomian Indonesia tentu masih ada. Misalnya apabila program stimulus yang digelontorkan pemerintah dapat berjalan efektif, produktif, dan terutama, tepat sasaran.
Dengan kata lain, aspek politik dalam pemberian stimulus itu dapat dihindari. Apalagi jika volume stimulus ditambah, misalnya menjadi lebih ultra-akomodatif seperti dilakukan sejumlah negara maju untuk mengantisipasi resesi, dan pada saat bersamaan tren pandemi Covid-19 sudah menurun.
Namun sejujurnya, dengan ruang fiskal yang sudah sempit, dan selalu adanya praktik politik pada semua program stimulus pemerintah, harapan itu tipis. Rencana pemerintah memberlakukan era new normal juga masih belum pasti, mengingat tren pandemi Covid-19 yang terus meningkat.
Kita tentu berharap dapat melewati masa kuartal II-III/2020 ini dengan selamat dan lancar, hingga pada kuartal IV kita dapat melihat roda-roda industri bergerak kembali, dengan penyerapan tenaga kerja, hingga akhirnya berdampak pada peningkatan konsumsi, ekspor dan investasi.
Namun, dalam situasi seperti ini, dapatkah kita bertahan sampai Oktober 2020, sementara banyak para pelaku usaha besar sudah mengaku ‘napasnya hanya sampai Juli’? Jawaban dari pertanyaan ini kembali ke progam stimulus tadi. Itu yang perlu diingat.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.