JAKARTA, DDTCNews – Pagi ini, Kamis (15/2), kabar datang dari Ditjen Pajak yang menyatakan ada risiko hukuman penjara dan membayar denda bagi pimpinan maupun pegawai perusahaan keuangan jika tidak memberikan data dan informasi nasabah keuangan dalam rangka Automatic Exchange of Information (AEoI) mulai April 2018.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan ancaman penjara 1 tahun dan dena maksimal Rp1 miliar mengintai perusahaan keuangan dengan pengelolaannya yang mengelak dari kewajiban tersebut.
Ketentuan sanksi itu dimuat dalam UU Nomor 9/2017 yang menyebutkan laporan data nasabah minimal harus memuat identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, identitas perusahaan keuangan, saldo atau nilai rekening keuangan dan penghasilan atas isi rekening keuangan.
Sesuai PER 04/2018 lembaga keuangan wajib mendaftar lebih dulu ke Ditjen Pajak paling lambat pada akhir Februari 2018, sebagai prasyarat awal implementasi tersebut. Ditjen Pajak pun akan otomatis mendaftarkan lembaga keuangan terkait jika tidak juga mendaftarkan diri hingga akhir Februari ini.
Berita selanjutnya isu pajak masih menjadi perbincangan hangan di tengah isu ekonomi makro Indonesia. Berikut ringkasannya:
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan portal Exchange of Information (EoI) baru bisa rampung pekan depan, meski akhir pendaftarannya akan berakhir pada Februari 2018. Sayangnya, Ditjen Pajak belum mengujicobakan portal EoI sama sekali dan sejauh ini proses pengerjaannya baru mencapai 34% saja. Ditjen Pajak masih memiliki waktu 2 minggu untuk merampungkan sistem, menguji coba, sekaligus menjalankan mekanisme sistem pada akhir Februari ini. Dalam waktu sesingkat itu, Ditjen Pajak masih bisa memproyeksi proses pelaporan itu tidak akan banyak mengganggu hal lain, karena dibuat sesederhana mungkin dan sesuai standar yang telah diatur dalam OECD Global Forum.
Direktur Bank Tabungan Negara (BTN) Iman Nugroho mengakui tengah mempersiapkan secara teknis soal pelapooran data nasabah kepada Ditjen Pajak. Dia memastikan data yang dikirim ke Ditjen Pajak sudah dijamin keamanannya. Pasalnya, data tersebut hanya bisa diakses oleh petugas Ditjen Pajak tertentu yang ditugaskan dan tidak bisa oleh petugas Ditjen Pajak lain tapi tidak ditugaskan. Keamanan dan kerahasiaan data wajib pajak sejak beberapa hari lalu sempat mengakhawatirkan sejumlah kalangan. Di samping itu, Bank BTN enggan melakukan sosialisasi mengenai adanya pelaporan data nasabah perbankan kepada Ditjen Pajak. Menurut Iman hal itu menjadi tugas pemerintah dalam mengedukasi dan menyebarluaskan hasil kebijakannya.
Kasubdit KUP Direktorat Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak Dodik Samsu Hidayat menyebutkan ada 400 ribu wajib pajak yang memiliki rening perbankan di atas Rp1 miliar, berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Berdasarkan data LPS, jumlah seluruh rekening yang tercatat per Desember 2017 sebanyak 243,37 juta rekening dengan total nominal dana senilai Rp5.363,1 triliun. Sedangkan total rekening yang berjumlah di atas Rp1 miliar sebanyak 520.043 rekening dengan nominal Rp3.394,89 triliun. Data tersebut tidak memerinci jumlah rekening yang dimiliki oleh setiap orang, dalam artian satu orang dapat memiliki lebih dari satu rekening bank. Data tersebut juga belum termasuk simpanan di Bank Pengkreditan Daerah (BPR) dan lembaga keuangan lain yang juga harus dilaporkan jika di atas threshold.
Pengamat Perpajakan DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan ekstensifikasi cukai adalah suatu hal yang perlu dilakukan di Indonesia. Hal ini bukan karena jumlah Barang Kena Cukai (BKC) yang minim. Menurutnya, yang lebih penting dari ekstensifikasi BKC yakni keperluan pemerintah untuk mengendalikan konsumsi atau mencegah eksternalitas, menjamin keadilan, serta kebutuhan peneriman negara. Bawono menjelaskan dalam konteks perluasan objek cukai, tanpa mengubah UU yang berlaku saat ini sebenarnya masih bisa dioptimalkan. Pasalnya Pasal 2 ayat 1 UU Cukai telah menyantumkan 4 karakteristik barang yang bisa dikenai cukai, yakni mulai dari peredaran yang perlu diawasi hingga bisa menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menegaskan otoritas pajak akan menggunakan strategi jemput bola kepada wajib pajak perusahaan yang memiliki banyak karyawan, sekaligus memfasilitasi pelaporan SPT tanpa datang ke kantor pajak. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) juga akan membuka pos pelayanan SPT di sejumlah tempat keramaian seperti pusat perbelanjaan (shopping mall), dengan membuka pojok pajak yang melayani pembuatan EFIN dan e-Filing. Kemudahan itu menjadi strategi utama Ditjen Pajak dalam mengejar target pengumpulan 17,5 juta SPT sepanjang tahun 2018. Target itu meningkat sekitar 1 juta SPT dibanding tahun lalu yang sebanyak 16,6 juta, tapi hanya terealisasi sebanyak 12,5 juta SPT wajib pajak.
Wakil Presiden Direktur Astra Daihatsu Motor Sudirman Maman Rusdi memaparkan harmonisasi pajak kendaraan bermotor perlu dilakukan untuk jangka panjang, sehingga memacu pasar mobil sedan dalam negeri. PPnBM menjadi kambing hitam atas anjloknya penjualan mobil sedan dibanding mobil dengan tipe kecil sebaguna atau (LMPV) yang menyumbang lebih dari 20% pasar otomotif domestik. Mindset sedan sebagai mobil orang kaya juga disebabkan karena tingginya PPnBM yang berlaku. Sudirman mengakui tidak akan ragu memproduksi sedan di Indonesia jika pasarnya bergerak bagus. Namun risiko bisnis akan terlalu tinggi jika menambah jalur produksi hanya untuk ekspor mobil utuh saja. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.