Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Belanja perpajakan (tax expenditure) terus mengalami peningkatan. Hal ini terungkap dalam Laporan Belanja Perpajakan yang dimasukkan dalam Nota Keuangan beserta RAPBN 2020.
Estimasi belanja perpajakan pada 2018 tercatat senilai Rp221,1 triliun atau sekitar 1,5% terhadap produk domestik bruto (PDB). Nilai tersebut menunjukkan kenaikan sekitar 12,3% dari estimasi 2017 senilai Rp196,8 triliun atau sekitar 1,5% terhadap PDB.
Bentuk tax expenditure sendiri tidak hanya terbatas pada insentif pajak yang ditujukan untuk peningkatan daya saing dan investasi seperti tax holidayatau tax allowance yang selama ini banyak dimanfaatkan oleh pelaku usaha.
“Tetapi juga meliputi segala bentuk pengecualian atau perbedaan pengenaan perpajakan (deviasi) dari ketentuan umum yang berlaku,” demikian pernyataan pemerintah, seperti dikutip pada Selasa (20/8/2019).
Pengecualian atau deviasi tersebut, sambung pemerintah, dilakukan dengan beberapa tujuan seperti meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendukung pengusaha kecil. Hal ini berupa pengecualian bahan kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, serta jasa angkutan umum dari cakupan barang/jasa kena pajak. Selain itu, ada pula pengecualian pengusaha kecil untuk menjadi pengusaha kena pajak (PKP) yang memungut pajak pertambahan nilai (PPN).
Adapun penjelasan konsep dan prinsip, serta komparasi tax expenditure bisa dibaca juga dalam Working Paper DDTC bertajuk ‘Tax Expenditure Atas Pajak Penghasilan: Rekomendasi Bagi Indonesia’ yang diterbitkan pada 2014.
Pada Laporan Belanja Perpajakan 2019, pemerintah melakukan penyempurnaan penyusunan laporan dalam beberapa aspek. Penyempurnaan itu berupa perluasan cakupan jenis pajak, penambahan jumlah peraturan yang dapat diestimasi, serta perbaikan data maupun metodologi perhitungan.
Jumlah peraturan yang dapat diestimasi untuk tahun 2016 dan 2017 masing-masing sebesar 59 dan 62 pos peraturan, meningkat dari hanya 45 peraturan pada laporan tahun sebelumnya. Cakupan diperluas dari tiga jenis pajak (PPh, PPN dan PPnBM, serta Bea Masuk dan Cukai) menjadi empat jenis pajak dengan tambahan PBB sektor Pertambangan, Perkebunan dan Perhutanan (PBB P3).
“Hal ini menyebabkan adanya perbedaaan yang cukup signifikan untuk jumlah estimasi belanja perpajakan tahun 2016 dan 2017 pada Laporan Belanja Perpajakan 2018 dibandingkan laporan tahun sebelumnya,” demikian pernyataan pemerintah.
Belanja perpajakan Indonesia, sambung otoritas, diestimasi menggunakan revenue forgone method. Pemerintah mengukur besaran belanja perpajakan dengan cara menghitung selisih penerimaan pajak akibat adanya ketentuan belanja perpajakan.
Selain itu, diasumsikan tidak ada perubahan perilaku wajib pajak dan penerimaan dari pajak lainnya. Secara umum, estimasi besaran belanja perpajakan dilakukan melalui pendekatan makro dan pendekatan mikro, tergantung pada data yang digunakan.
Selanjutnya, untuk melihat sebaran pemanfaatannya, hasil estimasi belanja perpajakan dikelompokkan berdasarkan lima kategori. Pertama, jenis pajak. Kedua, sektor ekonomi. Ketiga, subjek penerima. Keempat, tujuan kebijakan belanja perpajakan. Kelima, fungsi belanja pemerintah. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.