Kepala DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji saat berbicara dalam 13th International Conference on Tax Administration di Sydney, Australia.
SYDNEY, DDTCNews – University of New South Wales (UNSW) Business School mengadakan13th International Conference on Tax Administration selama 5 dan 6 April 2018 di Sydney, Australia.
Pada tahun ini, tema yang diangkat adalah “Tax System Integrity in a Digital Age”. Pembicara dan peserta konferensi yang hadir merupakan praktisi, akademisi, peneliti, dan pegawai pemerintah dari berbagai negara. Mulai dari Amerika Serikat hingga Vanuatu, dari Kroasia hingga Tiongkok.
Hadir pula profesional DDTC, yaitu B. Bawono Kristiaji, yang didaulat menjadi salah satu pembicara dalam konferensi internasional tersebut. Berikut laporannya.
Sistem Pajak di Era Digital
Ekonomi digital dan kaitannya dengan pajak masih menjadi tema hangat yang kerap diangkat dalam berbagai event. Sayangnya, perkembangan teknologi digital seringkali hanya dilihat dari salah satu dimensi dari sektor pajak. Entah itu dari sisi penerimaan, upaya meningkatkan kepatuhan dengan teknologi, ataupun isu mengenai base erosion and profit shifting (BEPS).
Dalam 13th International Conference on Tax Administration ini, seluruh dampak dari ekonomi digital terhadap berbagai dimensi pajak dibahas, termasuk juga mengenai hak-hak wajib pajak, isu pajak pertambahan nilai (PPN), kerahasiaan informasi, hingga biaya kepatuhan. Seluruh topik tersebut diulas baik melalui seminar maupun diskusi atas bahan presentasi/tulisan dari masing-masing pemapar.
Pada hari pertama, topik yang diangkat cukup beragam. Acara dibuka oleh Dekan UNSW Business School, Profesor Chris Styles, dan kemudian dilanjutkan oleh paparan dari pejabat di otoritas pajak Australia (Australian Taxation Office/ATO) dan Selandia Baru (Inland Revenue).
Kedua pembicara tersebut memberikan suatu gambaran umum mengenai bagaimana teknologi dan digitalisasi telah mengubah sistem pajak, mulai dari cara melakukan pemeriksaan, meningkatkan pelayanan, hingga pengorganisasian kerja.
Acara dilanjutkan dengan sesi pararel yang dibagi dalam tiga kategori: tantangan administrasi pajak (sesi A); hak-hak wajib pajak, penyelesaian sengketa, dan isu kerahasiaan informasi di era digital (sesi B); serta digitalisasi, BEPS, dan pajak tidak langsung (sesi C).
Di antara sesi pararel, diselipkan pula sesi seminar yang mengupas seluk beluk hak wajib pajak. Sesi seminar ini menghadirkan: Ali Noorozi (Inspector-General of Taxation, Australia), Nina Olson (National Taxpayer Advocate, Amerika Serikat), dan Ian Taylor (Dewan di Tax Practitioner Board, Australia).
Kepala DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji saat menghadiri 13th International Conference on Tax Administration di Sydney, Australia.
Politik Ekonomi Konsensus Global
B. Bawono Kristiaji yang terpilih sebagai salah satu pembicara di hari pertama, membawakan paparan yang berjudul “The Political Economy of Global Consensus on Taxing Digital Economy”. Seperti telah diketahui, ekonomi digital telah membuka peluang aktivitas penghindaran pajak, salah satunya dengan melakukan aktivitas untuk memperoleh penghasilan tanpa adanya suatu kehadiran secara fisik di negara sumber penghasilan.
Namun di sisi lain, tidak bisa dipungkiri pula bahwa sistem pajak internasional yang berlaku saat ini sudah ketinggalan jaman dan tidak mampu mengikuti model bisnis digital. Hal ini juga yang menjadi penyebab mengapa celah-celah penghindaran pajak itu masih ada.
Hingga saat ini belum ada suatu rekomendasi global yang dijadikan konsensus untuk menangkal penghindaran pajak yang dioptimalkan melalui bisnis digital. Dokumen BEPS Aksi 1 hanya memberikan beberapa opsi kebijakan.
Interim Report yang dirilis oleh Task Force on Digital Economy pada 16 Maret 2018 lalu juga tidak memberikan sinyal yang jelas mengenai konsensus atas pajak digital global. Di tengah ketidakpastian ini, justru banyak negara berinisiatif merancang suatu ketentuan secara sepihak. Uni Eropa (European Union/EU) juga merilis proposal pemajakan digital bagi negara anggota.
Perkembangan ini mendorong adanya studi yang berangkat dari pertanyaan: apakah konsensus global mengenai pemajakan bagi ekonomi digital akan tercapai?
Analisis yang dilakukan oleh Kristiaji dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, ditinjau dari technical feasibility dari berbagai kebijakan yang bisa diambil. Kristiaji menganalisis akan adanya kesulitan untuk mengadopsi solusi yang paling efisien dan tepat dalam memecahkan masalah (first-best solution).
Sebagai catatan, first-best solution mencakup modifikasi batasan BUT dan nexus serta pola atribusi laba. Kesulitannya terletak pada kebutuhan untuk merombak model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan rumus dasar dalam transfer pricing berdasarkan pembentukan nilai.
Dari kesulitan tersebut tampaknya akan ada pergeseran untuk menemukan konsensus global yang lebih mudah diaplikasikan (second-best solution), contohnya equalization levy. Kasus digital ekonomi agaknya akan bernasib sama dengan solusi atas adanya praktik pembayaran bunga pinjaman secara berlebihan.
Dalam kasus tersebut, persoalan utamanya dikarenakan oleh adanya perbedaan perlakuan pajak antara bunga dan dividen, namun solusinya justru dengan memperkenalkan interest limitation rule (DER, earning stripping rule, dan sebagainya). Dengan kata lain, solusinya hanya bersifat second-best dan tidak menyelesaikan pangkal persoalannya karena kesulitan adanya perubahan fundamental.
Bagian kedua merupakan analisis mengenai interaksi antara negara, masyarakat dan pasar dalam konteks kebijakan pajak atas ekonomi digital. Secara umum negara dan masyarakat diuntungkan dengan adanya digitalisasi, sehingga tidak mengherankan jika aktivitas di bidang ini kerap didukung secara kebijakan.
Akan tetapi, paradigma mengenai pembayaran pajak yang adil telah mendorong adanya tekanan bagi pasar (perusahaan digital). Tekanan ini sering terlihat dari adanya praktik naming and shaming serta ‘pengadilan moral’ yang dilakukan kolaboratif oleh negara (pemerintah) dan masyarakat (LSM, media, publik secara umum). Tidak mengherankan jika hal ini justru menjustifikasi pemerintah di banyak negara untuk memperkenalkan pajak baru atas ekonomi digital.
Terakhir, prospek adanya koordinasi. Kesulitannya terletak pada kenyataan bahwa preferensi fiskal di berbagai negara pada dasarnya tidak sama sehingga konsensus global belum tentu bisa diterima oleh seluruh masyarakat internasional. Satu-satunya cara terciptanya konsensus global adalah dengan tidak membuat perubahan yang terlalu drastis dan mendetail, sehingga tiap negara masih memiliki ruang fleksibilitas kebijakan pajak. Kasus di Uni Eropa mengenai Common Consolidated Corporate Tax Base (CCCTB) merupakan bukti kesulitan untuk berkoordinasi.
Kesepakatan dan koordinasi juga lebih mudah dilakukan jika ada satu negara atau kelompok negara yang bertindak secara dominan (hegemoni). Sayangnya, kini peran OECD (perwakilan negara-negara maju) di sektor pajak internasional semakin berkurang dan di sisi lain suara dari negara berkembang ataupun BRICS justru semakin lantang. Akibatnya, daya tawar masing-masing kelompok semakin besar dan sulit untuk menuju ke titik yang sama.
Dari ketiga sektor analisis tersebut, Kristiaji memprediksi bahwa konsensus global yang ideal (first-best solution) agaknya tidak akan terwujud.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.