Calon wakil presiden nomor urut 3 Mahfud MD (kedua kiri) bersiap memberikan keterangan pers usai debat calon wakil presiden Pemilu 2024 di JCC, Jakarta, Jumat (22/12/2023). Debat kedua Pemilu 2024 diikuti tiga cawapres yang mengangkat tema ekonomi kerakyatan, ekonomi digital, keuangan, investasi pajak, perdagangan, pengelolaan APBN/APBD, infrastruktur, dan perkotaan. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/tom.
JAKARTA, DDTCNews - Ketimpangan kepemilikan tanah kembali menjadi topik yang dibahas dalam debat cawapres kali ini.
Cawapres nomor urut 3 Mahfud MD mengatakan ketimpangan kepemilikan lahan adalah masalah lama yang tak kunjung usai hingga hari ini meski undang-undang soal landreform atau redistribusi lahan sesungguhnya sudah berlaku.
"Satu persen penduduk menguasai 75% lahan, sedangkan 99% penduduk berebut mengelola hanya 25% lahan sisanya. Memang timpang, oleh sebab itu upaya-upaya pemerataan harus terus dilakukan," ujar Mahfud, dikutip Sabtu (23/12/2023).
Guna menyelesaikan masalah ketimpangan kepemilikan lahan, Mahfud mengatakan perlu ada political will dari pemerintah untuk menegakkan ketentuan pertanahan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
"Betul masalahnya political will. Di antara political will yang paling penting adalah penegakan hukum, itu adalah kuncinya. Aturannya semua sudah ada, tetapi kemudian bocor di mana-mana. Banyak tanah orang tidak pernah dijual tiba-tiba dirampas orang lain dan dia tidak berdaya," ujar Mahfud.
Menurut Mahfud, selama ini pemerintah hanya mensertifikatkan tanah yang sudah ditempati. Namun, redistribusi kepada mereka yang belum memiliki lahan masih belum pernah dilaksanakan.
"Sejuta sertifikat sudah dibagi untuk mereka yang memang sudah menempati tanah itu. Lahan yang lain itu belum dibagi terhadap orang yang belum punya. Itu yang akan kita kerjakan besok dalam rangka redistribusi lahan," ujar Mahfud.
Untuk diketahui, Kementerian ATR/BPN mencatat rasio gini penguasaan lahan di Indonesia mencapai 0,58. Artinya, 1% penduduk menguasai 58% lahan di Indonesia.
Dalam laporannya, Kementerian ATR/BPN berpandangan ketimpangan ini dapat diminimalkan bila hak atas tanah diusahakan, digunakan, dan dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara.
Masalahnya, selama ini masih terdapat pemegang hak atas tanah yang menelantarkan lahan tersebut. Akibatnya, tidak ada manfaat ekonomi yang optimal dari pemberian hak atas tanah tersebut.
"Oleh karena itu penelantaran tanah selain merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis (hilangnya potensi ekonomi tanah), dan tidak berkeadilan, juga merupakan pelanggaran kewajiban pemegang hak, pemegang hak pengelolaan, pemegang dasar penguasaan atas tanah. Atas dasar tersebut, negara berhak menertibkan tanah-tanah yang ditelantarkan," tulis Kementerian ATR/BPN.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.