Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pengenaan pajak minimum global (global minimum tax) untuk korporasi perlu disambut baik sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi tekanan kompetisi pajak.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan kehadiran pajak minimum global sebesar 15% juga akan berpotensi mengurangi daya tawar negara-negara yang selama ini dikelompokkan sebagai tax haven.
“Dalam kaitannya dengan UU HPP, tetap dipertahankannya tarif PPh badan sebesar 22% juga kian relevan. Hal ini dikarena risiko pengalihan laba berkurang dengan adanya skema tarif pajak minimum,” ujarnya, Selasa (12/10/2021).
Seperti diketahui, melalui UU HPP, pemerintah dan DPR sepakat untuk membatalkan penurunan tarif PPh badan dari 22% menjadi 20%. Simak pula ‘Tarif PPh Badan Batal Turun ke 20%, Ini Alasan Pemerintah’.
Sebanyak 136 negara/yurisdiksi, termasuk Indonesia, yang mewakili 90% produk domestik bruto (PDB) global telah menyepakati solusi dua pilar (two-pillar solution) untuk mengatasi tantangan pajak dari digitalisasi ekonomi. Mereka membuat kesepakatan penting (the landmark deal).
Mereka bergabung dalam pernyataan solusi dua pilar atau Statement on the Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy. Hal ini memperbarui dan menyelesaikan kesepakatan politik pada Juli 2021 untuk mereformasi aturan pajak internasional. Simak ‘Bersiap Menyambut Arsitektur Baru Pajak Internasional’.
Pajak minimum global masuk pada Pilar 2. Tarif 15% akan berlaku untuk perusahaan dengan pendapatan di atas EUR 750 juta. Skema ini diperkirakan menghasilkan US$150 miliar tambahan pendapatan pajak global tiap tahun.
Negara yang telah menyepakati solusi dua pilar akan menandatangani konvensi multilateral selama 2022 dengan implementasi efektif pada 2023. Dengan demikian, perusahaan multinasional dipastikan akan dikenai tarif pajak minimum 15% pada 2023.
Pilar 2, sambung Bawono, bersifat common approach yang tidak wajib diimplementasikan. Skenario pajak minimum global hanya diterapkan bagi negara yang menyetujui atau dalam situasi ketika terdapat interaksi dengan negara lain yang sudah menerapkan hal tersebut.
“Singkat kata, setuju atau tidak, setiap negara akan terdampak dan tunduk dengan aturan main tersebut,” imbuh Bawono. Simak pula ‘Mencermati Kesepakatan Pajak Minimum Global’.
Pilar 2 akan diberlakukan bagi perusahaan multinasional dengan nilai penghasilan bruto sebesar EUR750 juta (Rp11 triliun) per tahun. Namun demikian, terdapat pengecualian bagi sektor tertentu serta jenis penghasilan tertentu.
Pajak minimum global akan memaksa seluruh perusahaan multinasional (dengan penghasilan bruto global Rp11 triliun per tahun) untuk membayar pajak secara efektif minimal 15% di manapun mereka beroperasi.
“Perlu dipahami bahwa tarif pajak efektif berbeda dengan tarif PPh badan yang diatur secara umum melalui undang-undang. Tarif pajak efektif nilainya bisa jadi lebih rendah, semisal dengan adanya fasilitas atau perlakuan pajak tertentu,” jelas Bawono.
Penggunaan tarif efektif, sambungnya, untuk mencegah praktik penggerusan basis pajak dan pengalihan laba ke negara dengan tarif pajak rendah. Jika ternyata tarif pajak efektif negara tujuan investasi lebih rendah dari 15%, atas selisih tarif tersebut dapat dipajaki oleh negara domisili (income inclusion rule/IIR).
Selain itu, terdapat pula skema undertaxed payment rule (UTPR). Dalam skema ini, biaya yang dibayar perusahaan multinasional di negara domisili kepada afiliasinya di negara dengan tarif pajak efektif di bawah 15% menjadi non-deductible.
Terkait dengan manfaatnya terhadap penerimaan pajak Indonesia tentu perlu dihitung lebih lanjut. Upaya pencapaian konsensus global terhadap tantangan pajak yang muncul dari digitalisasi ekonomi pernah diulas dalam Fokus 'Selangkah Lagi Mencapai Konsensus Global Pajak Digital'. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.