Buku Transfer Pricing: Ide, Strategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional (Edisi Kedua – Vol 1).
JAKARTA, DDTCNews – Sebanyak 6 dari 8 mekanisme khusus pencegahan praktik penghindaran pajak (specific anti-avoidance rule/SAAR) dalam Bab VII PP 55/2022—turunan Pasal 18 ayat (3) UU PPh s.t.d.t.d UU HPP—hanya dapat dilakukan terhadap transaksi antara pihak yang dipengaruhi hubungan istimewa.
Pertama, menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya oleh wajib pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri yang tak menjual sahamnya di bursa efek. Simak ‘Instrumen Antipenghindaran Pajak PP 55/2022, CFC Rules Salah Satunya’.
Kedua, menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak yang dilakukan oleh DJP dengan menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's length principle/ALP).
Ketiga, menetapkan pihak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian sepanjang terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
Keempat, menetapkan pihak yang melakukan penjualan atau pengalihan perusahaan saham antara yang berkedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak. Perusahaan antara dikenal dengan istilah conduit company.
Kelima, menentukan kembali penghasilan wajib pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan wajib pajak orang pribadi tersebut ke dalam bentuk biaya yang dibayarkan kepada perusahaan di luar negeri.
Keenam, menghitung kembali pajak yang seharusnya terutang berdasarkan perbandingan kinerja keuangan dengan wajib pajak dengan kegiatan usaha sejenis atau benchmarking. Simak pula ‘Aturan ALP, Hubungan Istimewa, dan Transfer Pricing Masuk PP 55/2022’.
Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan hubungan istimewa? Konsep mengenai hubungan istimewa ini telah diulas oleh DDTC dalam buku Transfer Pricing: Ide, Strategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional pada 2013.
Buku tersebut juga telah diperbarui pada 2022 dengan Transfer Pricing: Ide, Strategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional (Edisi Kedua – Vol 1). Pada buku tersebut, terminologi hubungan istimewa didefinisikan sebagai berikut:
Hubungan istimewa merupakan terminologi regulasi domestik di Indonesia yang merujuk pada konsep associated enterprise dalam terminologi yang diterima secara global. Walaupun konsep hubungan istimewa di Indonesia lebih dekat dengan konsep special relationship dan memiliki perbedaan dengan apa yang disebut sebagai associated enterprises, terminologi hubungan istimewa tetap dipergunakan. Pada dasarnya, apa yang disebut sebagai associated enterprise memiliki definisi yang berbeda-beda di setiap negara.
Ketentuan mengenai hubungan istimewa sudah mulai ada pada Pasal 18 UU 7/1983 tentang Pajak Penghasilan. Ketentuan terkait dengan hubungan istimewa itu mengalami beberapa penyesuaian keredaksian, terakhir melalui UU 36/2008.
Melalui UU 7/2021, perubahan hanya terjadi pada pasal-pasal yang berkaitan. Namun, ketentuan mengenai hubungan istimewa tidak berubah. Berikut ini definisi hubungan istimewa dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh s.t.d.t.d UU HPP.
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
- Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
- Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
- terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Definisi pada tingkat undang-undang tersebut kemudian diturunkan pada ketentuan teknis setingkat PP, yakni PP 55/2022. Sebelumnya, definisi dan ketentuan terkait hubungan istimewa dimuat dalam Pasal 4 PMK 22/2020.
Pengaturan terkait dengan hubungan istimewa dalam PP 55/2022 ini tidak berbeda jauh dengan ketentuan pada Pasal 4 PMK 22/2020. Salah satu perbedaannya terletak pada kriteria dalam kondisi hubungan istimewa atas penguasaan.
Sesuai dengan Pasal 33 ayat (1) PP 55/2022, hubungan istimewa merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh kepemilikan atau penyertaan modal; penguasaan; atau hubungan keluarga sedarah atau semenda.
Keadaan itu, masih sesuai dengan pasal tersebut, mengakibatkan pihak satu dapat mengendalikan pihak yang lain atau tidak berdiri bebas dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
Hubungan istimewa karena kepemilikan atau penyertaan modal dianggap ada jika:
Hubungan istimewa karena penguasaan dianggap ada jika:
Hubungan istimewa karena hubungan keluarga sedarah atau semenda dianggap ada dalam hal terdapat hubungan keluarga, baik sedarah maupun semenda, dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping 1 derajat.
Darussalam dan Yusuf Wangko Ngantung dalam buku Transfer Pricing: Ide, Strategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional (Edisi Kedua – Vol 1) menyebut konsep hubungan istimewa dalam ketentuan pajak domestik Indonesia memiliki keunikan tersendiri.
Jika diartikan, hubungan istimewa merupakan special relationship, bukan associated enterprises. Namun, konsep hubungan istimewa ini sebenarnya memiliki maksud dan tujuan yang sama dengan konsep associated enterprises dalam konteks transfer pricing.
Konsep hubungan istimewa yang mengacu pada ketentuan hukum pajak domestik Indonesia memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan konsep associated enterprises dalam OECD Model dan OECD Guidelines.
Konsep associated enterprises tampaknya hanya mencakup hubungan antarbadan usaha berdasarkan pada undang-undang perusahaan. Sementara itu, konsep hubungan istimewa juga mencakup hubungan darah dan kontrol secara de facto, di samping ketentuan mengenai ambang batas kepemilikan saham.
Selain itu, ketentuan pajak domestik Indonesia tidak hanya mengatur tentang istilah ‘transaksi hubungan istimewa’, tetapi juga ‘transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa’. Hal ini terlihat pada Pasal 35 ayat (2) PP 55/2022.
Sesuai dengan pasal tersebut, transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa meliputi transaksi afiliasi; dan/atau transaksi antarpihak yang tidak memiliki hubungan istimewa, tetapi pihak afiliasi dari salah satu atau kedua pihak menentukan lawan transaksi dan harga transaksi.
“Dengan kata lain, transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa dalam ketentuan pajak domestik Indonesia juga mencakup transaksi independen yang dipengaruhi oleh pihak afiliasi dari salah satu atau kedua pihak yang bertransaksi,” tulis Darussalam dan Yusuf Wangko Ngantung dalam buku itu.
Istilah transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa mencerminkan interpretasi atas kontrol secara de facto. Dengan demikian, hubungan istimewa dapat terbentuk apabila satu pihak memiliki kontrol atas pihak lainnya dalam pengambilan keputusan atau tentang cara menjalankan kegiatan bisnis dan aktivitasnya, tanpa adanya suatu kesepakatan formal.
Pengaturan mengenai hubungan istimewa dalam sistem pajak Indonesia makin perlu untuk dicermati pascaberlakunya UU HPP. Terlebih, berbagai pengaturan mengenai mekanisme pencegahan penghindaran pajak akan diatur dalam aturan teknis lainnya.
Berbagai ulasan dari para profesional DDTC dalam berbagai publikasi, termasuk buku, makin relevan untuk dibaca kembali. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.