KEADILAN dan kesetaraan pajak telah menjadi perdebatan dalam dunia pajak sejak lama hingga saat ini. Konsep dari keduanya terus berkembang. Salah satu metode yang dikembangkan OECD dan berbagai yurisdiksi di dunia untuk mencapai prinsip-prinsip tersebut dalam pemungutan pajak adalah dengan inisiatif joint audits. Inisiatif ini pertama kali diformalkan dan digaungkan dalam OECD Joint Audit Report 2010.
Perlu dipahami, joint audits merupakan bagian dari mutual administrative assistance atau kerja sama pajak internasional. Joint audits berada di tingkatan tertinggi dari kerja sama pajak lintas yurisdiksi (OECD, 2019). Joint audits didefinisikan pada awalnya dalam OECD Joint Audit Report 2010 dan direvisi dalam OECD Joint Audit Report 2019.
Joint audits, sebagaimana tercantum dalam OECD Joint Audit Report 2019, memiliki definisi yang cukup panjang dan komprehensif. Dalam kalimat definisi joint audits tersebut, penulis melihat dua frasa di dalamnya. Frasa pertama adalah mengenai objek dan subjek dari pelaksanaan joint audits.
“dua atau lebih administrasi perpajakan yang bergabung untuk memeriksa suatu masalah/transaksi dari satu atau lebih orang kena pajak yang terkait (baik badan hukum maupun orang pribadi) dengan kegiatan bisnis lintas batas, mungkin termasuk transaksi lintas batas yang melibatkan perusahaan afiliasi terkait diselenggarakan di yurisdiksi yang berpartisipasi…”
Kemudian frasa kedua adalah mengenai prosedur umum dari pelaksanaan joint audits.
“… dan di mana administrasi pajak memiliki kepentingan bersama atau saling melengkapi yang diproses dengan cara yang telah disepakati sebelumnya dan terkoordinasi yang menjamin tingkat integrasi yang tinggi dalam proses dan termasuk kehadiran pejabat dari administrasi pajak lain di mana administrasi pajak bersama-sama terlibat dengan wajib pajak memungkinkan wajib pajak untuk berbagi informasi dengan mereka bersama-sama dan tim termasuk perwakilan otoritas yang kompeten dari masing-masing administrasi pajak untuk pertukaran informasi.”
Menurut elemen kunci (key elements) dalam OECD Joint Audit Report 2010, Joint audits pada awalnya dilakukan dalam serangkaian pilot project oleh berbagai negara (ada delapan), termasuk pilot project antara Jerman dan Belanda. Setelah itu, pilot project dari joint audits makin banyak digulirkan, terutama di antara negara-negara Eropa. Tercatat ada lebih dari 200 joint audits.
Yurisdiksi yang tercatat memiliki proyek joint audits paling banyak adalah Jerman dengan kesediaan untuk melakukannya dengan yurisdiksi lain. Faktor objektif yang tidak dapat dipisahkan adalah karena Jerman memiliki kasus Mutual Agreement Procedure (MAP) terbanyak di dunia dan tidak memiliki program kepatuhan kooperatif (Criclivaia, 2020).
Jerman juga memiliki kekayaan lepas pantai (offshore wealth) terbesar di antara negara-negara anggota Uni Eropa dan menyumbang sekitar 20% (€9 miliar). Nilai itu tertinggi kedua dari total perkiraan pendapatan UE-28 yang hilang karena penghindaran pajak internasional atau international aggressive tax planning (Criclivaia, 2020).
Berbagai pengalaman pelaksanaan joint audits kemudian dibahas dan dijabarkan dalam OECD Joint Audit Report 2019. Pembahasan secara komprehensif juga menyempurnakan definisi prosedur pelaksanaan joint audits dibandingkan dengan sebelumnya dalam OECD Joint Audit Report 2010.
Melengkapi OECD Joint Audit Report 2019, OECD juga menerbitkan 2019 OECD Joint Audit Implementation Package yang menjelaskan prosedur pelaksanaan audit bersama secara lebih terperinci. Dokumen ini dapat menjadi panduan bagi yurisdiksi yang berniat untuk menerapkan prosedur joint audits.
Namun, kerangka hukum tetap menjadi tantangan terbesar dalam pelaksanaan joint audits. Sekali lagi, Uni Eropa dapat dipuji karena memiliki peraturan yang paling canggih untuk joint audits dalam bentuk kode hukum.
Kerangka hukum terbaru adalah Directive on Administrative Cooperation in the Field of Taxation (DAC) 7 yang secara eksplisit mengatur mengenai joint audits. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika negara-negara anggota Uni Eropa saat ini menjadi kontributor dan “trendsetter” utama dalam proyek joint audits.
Di sisi lain, pengalaman negara-negara di luar Uni Eropa masih sangat minim. Di benua dengan mayoritas terdiri atas negara berkembang, seperti benua Asia dan Afrika, bahkan belum ada laporan mengenai pelaksanaan joint audits yang terjadi di antara negara-negara tersebut.
Berbagai alasan tentu menjadi pemicu kurang menariknya proyek joint audits. Alasan seperti terbatasnya dasar hukum dan sumber daya suatu yurisdiksi untuk bisa melakukan joint audits memang masih menjadi tantangan paling besar. Namun, alasan sekadar tidak ingin melakukan proyek joint audits juga ada, seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
Dalam konteks keadilan dan kesetaraan pajak, joint audits memberikan peluang bagi otoritas pajak dan wajib pajak untuk mencapai kepastian hukum hanya jika inisiatif ini benar-benar dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan prosedur pelaksanaannya. Hal ini mengingat agenda utama inisiatif joint audits adalah kepastian hukum sebagaimana disebutkan dalam OECD joint audit report.
Manfaat agenda kepastian hukum dirasakan oleh administrasi pajak dan wajib pajak. Hal ini dikarenakan keduanya dapat mencapai pandangan sama lintas yurisdiksi yang juga diterima oleh wajib pajak sehingga menyelesaikan kasus dan menghindari prosedur intensif sumber daya dan waktu tambahan.
Berdasarkan pada praktik nyata oleh berbagai yurisdiksi, utamanya pilot project dan negara-negara Uni Eropa, ditemukan fakta bahwa kepercayaan antara otoritas pajak dan wajib pajak diperkuat. Hal ini dikarenakan semua otoritas pajak yang terlibat maupun wajib pajak turut berperan serta dalam proses pada tahap awal sampai akhir. Hal ini tentunya berbeda dengan MAP karena wajib pajak tidak memiliki kesempatan langsung untuk berpartisipasi.
Meskipun demikian, harus diakui, hingga saat ini masih terdapat berbagai tantangan bagi yurisdiksi untuk menerapkan prosedur joint audits. Selain persoalan keterbatasan kerangka hukum dan sumber daya, persoalan mendesak lainnya adalah seberapa luas kewenangan auditor untuk benar-benar memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak.
Dengan kata lain, dapatkah tim audit mengeluarkan ketetapan pajak yang mengikat secara hukum, atau dapatkah setiap yurisdiksi membuat ketetapan pajaknya sendiri?
Kepastian hukum yang lebih baik akan tercapai apabila tim pemeriksa diminta untuk menindaklanjuti hasil audit dengan mekanisme kepastian hukum pajak lainnya seperti Advanced Pricing Agreement (APA) dan Advanced Tax Ruling. Dengan demikian, kepastian pajak tidak hanya tercapai untuk transaksi masa lalu yang subjek masa/tahun pajak yang diperiksa, tetapi juga untuk masa/tahun pajak berikutnya.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.