Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Marketing fee yang dipersamakan dengan bonus bagi pegawai merupakan salah satu komponen penghasilan bruto yang bersifat tidak teratur. Karenanya, marketing fee atau bonus itu tetap menjadi objek penghasilan yang dipotong pajak penghasilan (PPh) Pasal 21.
Terhadap penghasilan bonus yang terutang PPh mulai masa Januari 2024, pada saat penghitungan PPh Pasal 21, bonus tersebut dijumlahkan dengan total penghasilan bruto lainnya di masa tersebut. Selanjutnya, total penghasilan bruto dikalikan dengan tarif efektif rata-rata (TER).
"Daftar TER bisa dilihat pada lampiran Peraturan Pemerintah (PP) 58/2023," cuit contact center Ditjen Pajak (DJP) saat menjawab netizen, dikutip pada Ahad (12/5/2024).
Perlu dicatat, PPh Pasal 21 yang dipotong berdasarkan TER pada saat bulan diterimanya bonus atau fee tertentu bagi pegawai akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Hal ini terjadi karena penghasilan yang diterima pegawai menjadi lebih besar, yakni mencakup gaji dan fee atau bonus.
Misalnya, seorang pegawai tetap yang berstatus tidak kawin tanpa tanggungan (TK/0) menerima penghasilan bruto bulanan senilai Rp10 juta. Atas penghasilan tersebut, berlaku tarif efektif bulanan 2% sehingga PPh Pasal 21 yang terutang setiap bulan senilai Rp200.000.
Sementara pada bulan diterimanya bonus, penghasilan bruto bulanan pegawai ini akan naik dari Rp10 juta menjadi Rp20 juta. Dengan penghasilan tersebut, tarif efektif bulanan yang berlaku atas penghasilan bruto senilai Rp20 juta adalah 9% sehingga PPh Pasal 21 terutang menjadi Rp1,8 juta.
Kepala Subdirektorat Hubungan Masyarakat Perpajakan DJP Inge Diana Rismawanti sempat menjelaskan bahwa penerapan TER bertujuan mempermudah penghitungan PPh Pasal 21 oleh pemotong. Melalui skema ini, pemberi kerja cukup menjumlahkan gaji dan bonus, serta mengalikannya dengan tarif efektif bulanan yang tertera dalam tabel.
Di sisi lain, pegawai juga dapat dengan mudah ikut menghitung PPh Pasal 21 yang dipotong atas penghasilannya oleh pemberi kerja.
Sementara itu, Penyuluh Ahli Madya DJP Dian Anggraeni menyebut penghasilan yang bersifat tidak teratur seperti THR atau bonus memang akan menyebabkan tarif yang dipergunakan untuk memotong PPh Pasal 21 lebih besar. Hal itu disebabkan penghasilan yang diterima pegawai dalam suatu masa pajak seolah-olah menjadi lebih besar.
"Pokoknya kalau ada penghasilan yang tidak teratur, akan begitu [penghitungannya]. Seolah-olah di bulan itu gajinya menjadi Rp20 juta," ujarnya. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.