Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemeriksaan bukti permulaan merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan (bukper) tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan. Hal ini diatur dalam UU KUP s.t.d.t.d. UU 7/2021 tentang HPP.
Dirjen Pajak berwenang melakukan pemeriksaan bukper berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan yang diterima atau diperoleh, dikembangkan, dan dianalisis melalui kegiatan intelijen atau pengamatan.
"Ada 9 indikasi tindak pidana perpajakan yang dapat memicu pemeriksaan bukper," tulis contact center Ditjen Pajak (DJP) melalui media sosialnya, dikutip pada Sabtu (21/10/2023).
Indikasi tindak pidana perpajakan yang dapat memicu pemeriksaan bukper, pertama, dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau tidak melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
Kedua, menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau PKP. Ketiga, tidak menyampaikan SPT.
Keempat, menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap. Kelima, menolak untuk dilakukan pemeriksaan.
Keenam, memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan sebenarnya.
Ketujuh, tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain.
Kedelapan, tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain dalam jangka waktu yang ditentukan.
Kesembilan, tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
Perlu dicatat, pemeriksaan bukper berlaku bagi siapa saja, baik yang memiliki atau tidak memiliki NPWP. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.