WASHINGTON DC, DDTC News – Penghindaran pajak yang dilakukan oleh para pengusaha dan perusahaan multinasional dengan menyimpan asetnya di negara-negara suaka pajak (tax haven) menjadi salah satu masalah besar yang menggerus penerimaan suatu negara.
Penasihat Kebijakan Pajak Oxfam International Esme Berkhout menjelaskan keberadaan tax haven dapat membahayakan negara-negara berkembang, karena tergerusnya penerimaan pajak tersebut. Esme juga mengungkapkan daftar 15 negara yang masuk dalam kategori World’s Worst Corporate Tax Havens.
“Negara tax haven membantu para pengusaha melakukan kecurangan pajak lebih dari miliaran dolar setiap tahunnya. Jumlah tersebut setara dengan jumlah yang dapat digunakan dalam upaya program kesejahteraan jutaan individu,” ungkapnya saat menjelaskan hasil riset Oxfam International yang berjudul Tax Battles, Senin (12/12).
Secara runtun, berikut 15 negara yang masuk dalam kategori World’s Worst Corporate Tax Havens:
Esme menambahkan susunan ini berdasarkan pada dampak dari kebijakan pajak di negara-negara tersebut, seperti menerapkan tarif pajak korporasi 0%, ketentuan pajak yang tidak adil, insentif pajak yang tidak produktif, serta kurangnya kerja sama internasional terkait penghindaran pajak khususnya transparansi data dan informasi keuangan.
Beberapa negara pemilik skandal besar terkait kasus pajak juga masuk ke dalam daftar yang dirilis oleh lembaga non-pemerintahan yang memiliki misi untuk memerangi kemiskinan ini.
Seperti di Irlandia, perusahaan teknologi raksasa (Apple) hanya membayar 0,005% pajak korporasi atau pajak penghasilan (PPh) Badan. Atau di British Virgin Islands yang menjadi rumah bagi 200.000 perusahaan yang diatur oleh Mossack Fonseca dalam skandal Panama Papers.
Seperti dilansir dari commondreams.org, dana hasil penghindaran pajak yang dilakukan oleh para pengusaha ataupun perusahaan multinasional nilainya mencapai US$ 100 miliar (Rp1330 triliun) setiap tahun. Jumlah ini setara dengan dana pendidikan bagi 124 juta anak yang tidak sekolah dan dana kesehatan bagi 6 juta anak setiap tahunnya.
Esme menegaskan tidak ada pemenang dalam kompetisi mencapai tarif PPh Badan serendah-rendahnya ini. Justru masyarakat, khususnya warga menengah ke bawah yang harus membayar atas kompetisi ini. Sebab, tarif PPh orang pribadi naik, serta pelayanan kesehatan dan pendidikan dari pemerintah turun.
"Pemerintah harus bekerja sama secara global untuk menghentikan kompetisi tarif pajak korporasi ini segera,” tutup Esme. (Gfa)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.