Pekerja memproduksi tahu di pabrik tahu rumahan di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (15/2/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/foc.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah diminta merespons secara serius terkait melambungnya harga kedelai impor. Kondisi ini dikhawatirkan berdampak terhadap produksi olahan kedelai di dalam negeri, terutama tahu dan tempe.
Anggota Komisi IV DPR RI Slamet menilai kenaikan harga kedelai impor berpotensi ikut mengerek harga jual tahu dan tempe. Oleh karena itu, dia mengatakan pemerintah harus segera melakukan intervensi dan pengelolaan yang baik.
“Kalau pemerintah tidak segera intervensi mengelola dengan baik maka masalah ini akan terus berulang dan hal ini bukan yang pertama tapi untuk yang kesekian kalinya," ujar Slamet, dikutip Sabtu (19/2/2022).
Menurutnya tahu dan tempe bukan saja masalah kebutuhan pedagang, tapi juga menyangkut kebutuhan rakyat luas. Sudah jadi anggapan umum, asupan gizi masyarakat yang paling murah saat ini adalah tahu dan tempe kedelai.
Lebih lanjut, Slamet meminta pemerintah segera melakukan langkah mitigasi untuk mencegah lonjakan harga pangan. Salah satu solusi yang dia sodorkan adalah merealisasikan pembentukan Badan Pangan Nasional.
"Saya juga heran, masalahnya ada di mana, badan ini belum juga terwujud. Padahal sudah 9 bulan Perpres dikeluarkan Presiden. Apakah Presiden Jokowi perintahnya sudah tidak bertuah, akhirnya diabaikan oleh anak buahnya,” ujar Slamet.
Ketua umum Perhimpunan Petani dan Nelayan Seluruh Indonesia (PPNSI) itu memaparkan, data Kementerian Pertanian menyebutkan sekitar 86,4% kebutuhan kedelai di dalam negeri berasal dari impor.
Adapun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor kedelai sebesar 2,48 juta ton dengan nilai 1 miliar dolar Amerika Serikat (AS) pada 2020.
Lebih lanjut, dia bilang ada beberapa hal yang menyebabkan Indonesia harus mengimpor kedelai.
Pertama, produksi dalam negeri yang rendah. Bahkan dalam 1 dekade terakhir, produksi kedelai nasional cenderung menurun dari 907 ribu ton pada 2010 menjadi 424,2 ribu ton pada 2019.
Sementara itu, luas lahan panen yang terus menyusut dari 660,8 ribu hektare pada 2010 menjadi 285,3 ribu hektare pada 2019. Hal ini juga dipengaruhi perubahan fungsi lahan ke sektor nonpertanian.
Kedua, kurang berminatnya produsen tempe terhadap kedelai lokal. Ketiga, petani menganggap budidaya kedelai tidak menguntungkan.
“Berdasarkan data BPS, harga produksi kedelai di tingkat petani rata-rata senilai Rp8.248 per kg. Namun ketika dijual ke konsumen hanya sekitar Rp10.415 per kg," ungkapnya. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.