Hjalmar Schacht (kanan) bersama pemimpin Partai Nazi Adolf Hitler
11 MEI, 1931. Hari itu depresi besar menghantam Eropa. Credit Anstalt, satu bank investasi besar yang berbasis di Wina, baru saja bangkrut. Investor yang gugup mulai menarik uang jangka pendek. Tingkat pengangguran pun sudah melampaui 20%. Pemerintah mulai gamang.
Di Berlin, dampak kejatuhan Ansalt segera terasa. 17 Juni 1931, nasabah mulai menyerbu The Darmstädter und Nationalbank (Danat-Bank), hingga bangkrut sebulan kemudian. Keruntuhan Danatbank, bank terbesar kedua di Weimar, menggerus kepercayaan pada sistem perbankan.
Gelombang penarikan uang pun melanda Weimar. Krisis perbankan dimulai. Bank sentral Weimar, Reichsbank, kehilangan RM150 juta pada pekan pertama Juni, RM450 juta pada pekan kedua, dan RM150 juta dalam 19-20 Juni 1931. Pemerintah lalu meliburkan bank pada 13 Juli.
Perekonomian Weimar yang ditopang utang Amerika Serikat sejak Dawes Plan pada 1924 terbukti gagap menghadapi krisis. Respons kebijakan Kanselir Heinrich Brüning sejak 1930 yang memangkas belanja publik dan meningkatkan tarif pajak malah kian memperburuk masalah.
Kekurangan likuiditas yang melumpuhkan bank itu juga dipicu utang dan kebangkrutan peminjamnya. Dengan pengangguran yang mendekati 30%, kalangan menengah dan atas, terutama penganggur dan warga berpenghasilan rendah, mulai berharap pada Partai Nazi.
Terbukti, pada Pemilu Juli 1932, Partai Nazi pun menang dan meraih 230 kursi setara dengan 38% kursi di parlemen. Sejak itu, pemimpin Partai Nazi Adolf Hitler pun menjadi tokoh politik terkuat di Republik Weimar. Ia menjadi pertaruhan warga yang kehilangan kepercayaan.
Hitler lalu mengembalikan jabatan Hjalmar Schacht (1877-1970) sebagai Presiden Reichsbank, lantas menggesernya sebagai Menteri Ekonomi. Hitler memintanya memperbaiki ekonomi. Permintaan ini dijawab dengan Program Reinhardt, kenaikan belanja infrastruktur dan militer.
Program Reinhardt, yang meminjam nama Sekjen Kementerian Keuangan Jerman Nazi ini, memberi pinjaman perbaikan rumah, pabrik, dan mesin. Belanja infrastruktur dimulai dari proyek jalan, autobahn. Reichsbank meminjami Reinhardt RM1 miliar, dan RM600 juta ke autobahn.
Kedua langkah itu diambil dengan menggabungkan insentif pajak dan investasi. Begitu pula di bidang konstruksi. Hasilnya, pekerjaan konstruksi meningkat pesat. Mobil dan transportasi motor jadi kian menarik. Industri motor pun meledak, dan Jerman Nazi meraup lebih banyak pajak.
Untuk belanja militer, Schacht menciptakan skema pembiayaan melalui surat utang Metallugirsche Forschungsgesellschaft (Mefo). Itu perusahaan yang dibentuk untuk merilis obligasi, Mefo Bills. Melalui obligasi inilah, Jerman Nazi memborong senjata dan alat perang.
Pasalnya, pembelian itu dilakukan atas nama pemerintah, dibayar Mefo Bills berkupon 4% dan tenor 6 bulan yang bisa diperpanjang sampai 5 tahun. Obligasi tersebut juga bisa jadi alat tukar dan dikonversikan menjadi kas melalui bank-bank, yang lalu dirediskontokan ke Reichsbank.
Dengan Mefo Bills, tagihan surat utang tidak muncul pada APBN Jerman Nazi. Hal ini juga menyiasati kredit dariReichsbank ke pemerintah yang dibatasi RM100 juta. Tapi dampaknya, perusahaan manufaktur senjata mendapatkan banyak order setelah sekian lama menganggur.
“Ketika sistem Mefo Bills diperkenalkan, saya sepenuhnya berharap bahwa revitalisasi ekonomi akan meningkatkan pendapatan dan investasi, dan itu akan menghasilkan penerimaan pajak yang memungkinkan pelunasan pinjaman,” kata Schacht dalam The Magic of Money (1967).
Tingkat pengangguran Jerman Nazi pun akhirnya susut dari 28,1% pada 1932 menjadi 13,8% pada 1934. Ini penurunan tercepat sekaligus terbesar di negara mana pun selama Depresi Besar. Laju pertumbuhan ekonomi stabil 8—10% selama 6 tahun dengan inflasi relatif rendah.
Pada 1936, setelah bertahun-tahun pembatasan yang diberlakukan akibat Perjanjian Versailles, belanja militer Jerman Nazi pun naik menjadi 10% dari Produk Domestik Bruto. Porsi ini jauh lebih tinggi dari negara Eropa lain. Tahun berikutnya, belanja militer dipompa kembali.
Schacht mengkritik opsi itu. Situasi rentan, karena merediskonto Mefo Bills dalam jumlah besar akan memicu inflasi yang tak terkontrol. Apalagi, order barang yang tak diimbangi kapasitas produksi jelas mengerek harga. Pemerintah kian sulit membayar utang saat jatuh tempo.
Akhirnya, ia menyerukan pengurangan belanja. Setahun berikutnya, Schacht menunda emisi Mefo Bill ketika nilai edarnya sudah RM12 miliar. Akhirnya, pada 1939, Jerman Nazi pun didera gagal bayar, tapi Hitler nekat menambah order senjata, hingga Reichsbank menyetop kreditnya.
Hitler lalu memecat Schacht, dan memerintahkan Reichsbank menyediakan semua kredit yang diperlukan. Sementara itu, Mefo Bills yang jatuh tempo dilunasi melalui percetakan uang. Akibatnya, Jerman Nazi pun mengalami inflasi besar-besaran sebelum memulai Perang Dunia II.
Pada 1944, Jerman Nazi mengirim Schacht ke kamp konsentrasi karena didiuga terlibat dengan kelompok perlawanan yang merencanakan pembunuhan Hitler. Setelah setahun kemudian Hitler kalah perang, di Pengadilan Militer Internasional Nurenberg, Schacht dibebaskan.
Namun, Pengadilan Denazifikasi Jerman menghukumnya 8 tahun. Schacht bebas pada 1948. Ia lalu mendirikan bank dan jadi advisor ekonomi sejumlah negara. “Ekonomi itu organisme yang sangat sensitif. Setiap gangguan dari arah mana pun akan jadi pasir dalam mesinnya,” katanya. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.