VLADIMIR LENIN:

'Pajak dalam Bentuk Barang Hanyalah Transisi'

Redaksi DDTCNews | Selasa, 09 Maret 2021 | 17:37 WIB
'Pajak dalam Bentuk Barang Hanyalah Transisi'

Vladimir Lenin. (Foto: britannica.com)

REVOLUSI itu bermula dari bom. Minggu, 13 Maret 1881, dari pinggir tikungan satu ruas jalan di Ibu Kota Rusia, Saint Petersburg, seorang perempuan muda melambaikan sapu tangan ke atas, saat iring-iringan kereta kuda Tsar Alexander II lewat, tak jauh dari Istana Musim Dingin.

Beberapa detik kemudian terdengar ledakan keras. Bom dilontarkan ke iring-iringan itu. Sebagian kereta hancur, kuda dan para pengiring baginda terluka. Namun, Tsar dan keretanya tidak terkena apa-apa. Bergerak cepat, pasukan kerajaan sudah menangkap sosok pengebomnya.

Tsar lalu turun, ia melihat korban dan penasaran dengan pembomnya. Namun, sekonyong-konyong dari pinggir jalan seseorang berlari. “Terlalu cepat bersyukur pada Tuhan!” Bom kedua meledak di antara kaki Tsar. Api dan pecahan logam mengoyak kaki dan perutnya. Wajahnya ringsek.

Baca Juga:
'Belanda Tidak Punya Hak Lagi atas Indonesia'

Mangkatnya Tsar Alexander II di tangan anggota organisasi revolusioner Narodnaya Volya hari itu langsung diikuti pelantikan Tsar Alexander III. Pengebom yang tertangkap biasanya memang hanya punya keberanian dan cita-cita, bukan platform dan cetak biru kekuasaan.

Saat peristiwa itu terjadi, di Simbirsk, kini Ulyanovsk, 1.500-an km ke arah tenggara St. Petersburg, Vladimir Ilyich Ulyanov (1870-1924) yang kelak dikenal dengan Vladimir Lenin, masih bocah 11 tahun. Ia mungkin sedang bermain catur di tengah keluarga kelas menengah Kristen Ortodoks.

Lenin baru sosialis revolusioner setelah abangnya, Alexander Ilyich Ulyanov atau Sasha, mahasiswa Universitas St. Petersburg, terlibat gerakan perlawanan kerajaan dan digantung Tsar Alexander III pada Mei 1887. Setelah peristiwa itu, dengan dendam, Lenin belajar hukum di Universitas Kazan.

Baca Juga:
Apa yang Membuat Orang Jawa Begitu Miskin?

Dengan bibit dendam itu, hanya 4 bulan setelah menjadi mahasiswa, ia mengorkestrasi demonstrasi. Hasilnya, ia dikeluarkan dari kampus. Tidak hanya itu, Kementerian Dalam Negeri Kerajaan Rusia juga mengasingkannya ke tanah milik keluarganya di Desa Kokushkino, sekitar 40 km dari Kazan.

Ibunya, Maria Alexandrovna Ulyanova, melobi agar Lenin kembali ke Kazan, tetapi tidak ke universitas. Setelah 2 tahun, permintaan ini dikabulkan. Namun, begitu kembali ke Kazan, Lenin malah bergabung dengan kelompok revolusioner mahaguru Nikolai Fedoseev, dan mulai menggeluti minatnya pada Marxisme.

Dari Kazan, ia bergeser ke St. Petersburg. Pada musim gugur 1895 ia bersama sejumlah kawannya mendirikan Liga Perjuangan untuk Emansipasi Buruh St. Petersburg (SBORK). Liga ini mempersatukan 20 kelompok studi Marxis yang berbeda. Aktivitasnya mengagitasi para buruh di St. Petersburg.

Baca Juga:
'Dana Pajak Ini untuk Meredam Dampak Ekonomi Pasar'

Pada Februari 1897, Lenin dituduh menghasut para buruh. Tanpa pengadilan, ia diasingkan 3 tahun ke Siberia Timur, 4.800-an km dari St. Petersburg. Di situlah ia menulis The Development of Capitalism in Russia, buku ekonomi 600 halaman lebih yang menahbiskan reputasinya sebagai teoritikus Marxis.

Setelah hukumannya berakhir, ia pindah ke Pskov, 300-an km barat daya St Petersburg. Ia mengelola Iskra, koran Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia (RSDRP)— yang didirikan SBORK dan 14 kelompok Marxis lain. Lenin lalu geser ke Munich, London, dan Jenewa, menyertai perpindahan kantor Iskra.

Di Iskra itulah pengaruhnya semakin membesar. Pada 1902, Lenin merilis pamflet populer berjudul What is to be Done? Ia berargumen kelas pekerja tidak menjadi politis hanya dengan bertempur dengan majikan tentang upah atau jam kerja. “Kaum buruh harus membentuk partai politik,” katanya.

Baca Juga:
'Saya Harus Memberi Contoh Demokrasi'

Tiga tahun berikutnya, bersamaan dengan kekalahan Rusia dalam perang melawan Jepang, Revolusi Rusia 1905 pun meletus. Revolusi ini praktis gagal karena Rusia tetap monarki, dan Tsar Nicholas II tetap sebagai Tsar. Bedanya, mulai ada Duma, semacam parlemen, dan dewan konstituante.

Namun, sejak itu pasukan Tsar terus memburu kaum revolusioner. Lenin, yang pulang setelah revolusi itu, terpaksa hengkang lagi ke luar negeri untuk mengamankan diri. Di dalam negeri, praktis tidak ada perubahan karena Tsar berkali-kali membubarkan Duma akibat putusannya melawan kehendaknya.

Instabilitas politik ini membuat perekonomian Rusia hancur, ditambah kerugian bergabung dengan Perang Dunia I. Alih-alih berhenti, praktik korupsi pemerintah Tsar terus merajalela. Tak tahan, awal 1917, warga St. Petersburg mulai turun ke jalan memprotes situasi dan kekurangan makanan.

Baca Juga:
'Pada Malam Hari Pemerintah Tidur'

Lenin, yang melihat semua itu dari luar negeri, menyusun rencana. Ia pulang ke St. Petersburg saat Revolusi Februari 1917 menggulingkan Tsar Nicholas II. Pada Oktober 1917, bersama tentara merah ia mengudeta pemerintah sementara. Lenin lalu menjadi pemimpin negara Marxis pertama di dunia.

Lalu apa yang dilakukannya, di tengah kehancuran ekonomi, membubungnya inflasi, kelaparan, dan perang saudara yang kemudian meletus? Pada 1921, ia merilis kebijakan ekonomi transisi. Cirinya mencakup pasar bebas dan kapitalisme, tetapi keduanya tunduk pada kendali negara. (Lenin, 1973)

Paket kebijakan ini antara lain mencakup penghapusan prodrazvyorstka, permintaan gandum paksa oleh pemerintah. Sebagai gantinya, Lenin memperkenalkan prodnalog, pajak atas petani yang dibayar dalam bentuk produk mentah, sekaligus secara efektif memangkas separuh besarannya.

Baca Juga:
'Orang Kaya Seperti Saya Bisa Membayar Pajak Lebih Sedikit'

“Pajak dalam bentuk barang hanyalah transisi dari perang Komunisme ke pertukaran produk sosialis biasa. Kerusakan ekstrim yang diperparah kegagalan panen pada 1920 telah membuat transisi ini sangat diperlukan, karena tidak mungkin memulihkan industri skala besar dengan cepat,” katanya.

Pada awalnya, pajak ini dibayar dengan barang, tetapi karena mata uang menjadi lebih stabil pada 1924, lalu ia diubah menjadi tunai. Akibatnya, produksi pertanian Rusia melonjak hingga 40% setelah masa kekeringan dan kelaparan 1921–1922. Namun, dengan keberhasilan itu, Lenin tetap waspada.

“Tidak seperti kapitalisme swasta, kapitalisme koperasi Soviet adalah variasi kapitalisme negara. Kita harus berupaya untuk mengarahkan perkembangan kapitalisme ini, mengingat pasar bebas adalah perkembangan kapitalisme, ke dalam saluran kapitalisme koperasi,” tegasnya. (Bsi)


Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 03 Juni 2021 | 16:07 WIB A.A. MARAMIS:

'Belanda Tidak Punya Hak Lagi atas Indonesia'

Kamis, 06 Mei 2021 | 16:29 WIB R.A. KARTINI:

Apa yang Membuat Orang Jawa Begitu Miskin?

Rabu, 14 April 2021 | 13:50 WIB MIKHAIL S. GORBACHEV:

'Dana Pajak Ini untuk Meredam Dampak Ekonomi Pasar'

Rabu, 17 Maret 2021 | 18:08 WIB BJ. HABIBIE:

'Saya Harus Memberi Contoh Demokrasi'

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:30 WIB THAILAND

Negara Tetangga Ini Bakal Bebaskan Hutan Mangrove dari Pajak