AA. Maramis. (Foto: Istimewa)
SETAHUN setelah Indonesia merdeka, ia menerbitkan sebuah pamflet tipis. Judulnya No More Legal Power of the Netherlands in Indonesia. Isinya memang agak galak, yaitu bantahan atas pendapat Menteri Urusan Wilayah Jajahan Kerajaan Belanda Johann Heinrich Adolf Logemann.
Nama Logemann sangat tersohor di Indonesia. Sampai sekarang, pendapat Logemann tentang hukum tata negara dan administrasi negara banyak disitir para ahli hukum di Indonesia. Logemann memang pernah mengajar dua mata kuliah itu di Technische Hoogeschool te Bandoeng.
Logemann inilah yang saat berpidato di depan parlemen Inggris mengklaim kekuasaan hukum atas Indonesia masih berada di tangan Belanda. Dengan kata lain, Belanda masih legal memungut pajak dari Indonesia. “Namun, apakah konsepsi seperti itu sudah betul?” tanya penulis pamflet itu.
Terlihat sangat jelas, penulis pamflet ini adalah sosok yang sangat memahami hukum tata negara Belanda. Argumentasinya runtut, strukturnya ringkas dan jelas. Ia melacak klaim Logemann pada teks-teks konstitusi Belanda, dan menemukan fakta, bahwa klaim tersebut ternyata keliru besar.
“Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memerintah Hindia Belanda atas nama Ratu Belanda inkonstitusional saat kedudukan Pemerintah Belanda dipindahkan ke London pada 1940. Sesuai dengan konstitusi Belanda, sejak saat itu Indonesia merupakan negara merdeka,” tulisnya.
Penulis artikel ini bukan orang sembarangan. Ia sarjana hukum Universitas Leiden yang memegang prinsip nonkooperatif. Bertolak ke Leiden pada 1919 atas beasiswa Pemerintah Hindia Belanda, ia segera terlibat dalam Indische Vereeniging, sebelum 6 tahun berselang pulang ke Indonesia.
Alex (1897-1977), sapaan akrabnya, datang dari keluarga kelas menengah di Minahasa. Orangtuanya, pasangan Andries Alexander Maramis dan Charlotte Ticoalu, adalah pengusaha kopra yang mapan. Ia masih keponakan Maria Walanda Maramis, tokoh emansipasi perempuan asal Minahasa.
Dengan status tersebut, ia bisa mendapatkan pendidikan ala Belanda. Sekolah dasar ditempuhnya di Europeesche Lagere School (ELS) di Manado. Ia tumbuh besar sebagai sosok yang berkarakter kuat, tidak mudah dipengaruhi orang lain, dan cenderung keras kepala.
Namun, ia pintar sekaligus pendiam. Kombinasi yang pas untuk sosok pemikir yang taktis. Setelah lulus dari ELS di Manado, Alex berlayar ke Batavia, dan melanjutkan ke sekolah menengah di Hogere Burgerschool (HBS) Koning Willem III Batavia selama 5 tahun.
Di Batavia, ia tinggal di rumah keluarga Belanda. Karena itulah ia menjadi sangat fasih berbahasa Belanda. Lulus dari HBS, ia bertolak ke Leiden. Di kota itulah nasionalisme dan patriotismenya mulai terasah, terlibat Indische Vereeniging dan mengubah namanya menjadi Indonesische Vereeniging.
“Kami berevolusi dari klub sosial jadi gerakan nasionalis. Evolusi ini berhubungan tidak hanya dengan kebangkitan nasional, tetapi kebangkitan Timur, merujuk kemenangan Jepang, kebangkitan China-India, Boedi Oetomo dan Indische Vereeniging,” tulisnya dalam jurnal Gedenkboek 1908-1924.
Pulang ke Tanah Air, ia makin intens terlibat aktivitas politik antikolonialisme. Ia menjadi anggota Perkumpulan Kawanua, Partai Nasional Indonesia, juga Kerapatan Gereja Protestan Minahasa, gereja perjuangan yang didirikannya di Manado bersama Sam Ratoelangi dan Toembelaka.
Sekalipun ia lulusan Belanda, ia menolak bekerja sebagai pegawai pemerintah. Ia juga menolak tawaran menjadi anggota Volksraad. Sebagai gantinya, ia memilih berkarir sebagai pengacara. Namun, justru dengan pilihannya itu, pada masa pendudukan Jepang, keahliannya dibutuhkan.
Ia lantas bergabung ke Poesat Tenaga Ra’jat bentukan Jepang, dan diangkat sebagai anggota Chuo Sangi-in, Dewan Pertimbangan Pusat, hingga terlibat penuh dalam sidang-sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Dalam sidang-sidang lembaga yang dibentuk Jepang 1 Maret 1945 itulah ia terlibat intens dalam perdebatan tentang dasar negara. Ia satu-satunya warga nonmuslim yang menjadi anggota Panitia Sembilan yang dipimpin Soekarno.
Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan menghasilkan rumusan yang populer disebut Piagam Jakarta. Salah satu rumusannya menyebut “Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja.” Alex setuju dengan hasil rumusan itu, tetapi tidak dengan Bung Hatta.
“Mungkin waktu itu Mr. Maramis cuma memikirkan, bagian kalimat itu hanya untuk rakyat Islam yang 90% jumlahnya, tidak mengikat rakyat Indonesia yang lain. Namun tetap saja, pembukaan UUD 1945 adalah pokok dari pokok, harus teruntuk bagi seluruh Indonesia tanpa kecuali,” kata Bung Hatta.
Perdebatan akhirnya selesai. Pada 26 September 1945, sebulan setelah merdeka, ia diangkat menjadi Menteri Keuangan menggantikan Samsi Sastrawidagda. Alex menjadi Menteri Keuangan dua periode pada 26 September-14 November 1945 dan 3 Juli 1947-4 Agustus 1949.
Alex kemudian menginisiasi percetakan uang sendiri dengan membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia. Saat devisa tergerus akibat perang, ia berinisiatif mengekspor candu dan emas, sekaligus merintis pembentukan Palang Merah Indonesia.
Presiden Joko Widodo mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional pada 2019. Namun, sebelum itu namanya sudah diabadikan menjadi nama jalan di sejumlah provinsi di Indonesia, dan nama gedung utama Kementerian Keuangan peninggalan Belanda: Alexander Andries Maramis. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Tumben kontennya, ga melulu spesifik pajak