Ilustrasi gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Penyelesaian berkas perkara penyidikan pidana pajak masih memakan waktu lama. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Kamis (16/5/2019).
Rata-rata penyelesaian berkas perkara penyidikan pidana pajak sekitar 18 bulan, jauh dari ekspektasi. Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan proses memang masih lama karena prosedur harus sesuai dengan KUHAP.
“Penerapan pasal, perhitungan, dan pembuktian kerugian keuangan negara juga memerlukan ketelitian dan kelengkapan alat bukti yang kuat dan tidak sedikit,” jelasnya.
Selain itu, otoritas sering menghadapi sejumlah kendala saat mengumpulkan alat bukti. Salah satu kendalanya adalah sikap yang tidak kooperatif dari para tersangka. Tidak jarang juga calon tersangka melarikan diri saat proses penyidikan berlangsung.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti belum optimalnya kepatuhan materiel wajib pajak (WP) orang pribadi (OP) non-karyawan. Dari target 332.999 WP, hanya 152.871 atau 45,91% WP yang membayar pajak pada 2018. Ini lebih rendah dari kepatuhan WP badan terdaftar yang melalukan pembayaran pajak pada tahun lalu sebanyak 179,8%.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Untuk mendorong efektivitas penyidikan pidana pajak, DJP telah merancang empat aksi. Pertama, menetapkan target P-21 untuk Kanwil DJP berdasarkan jumlah penyidik PNS dan anggaran penyidikan. Kedua, optimalisasi konsultasi dan koordinasi dengan aparat penegak hukum secara rutin dan terencana.
Ketiga, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan difokuskan pada pengguna faktur pajak tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya, penerbit pajak dengan NPWP tidak valid, SPT Lebih Bayar Berisiko Tinggi, dan pengembangan kasus penyidikan yang ditangani ke kawajiban perpajakan PPh dan penyidikan TPPU.
Keempat, asistensi dan supervisi ke Kanwil Ditjen Pajak dalam rangka pengembangan cakupan modus operandi kasus yang disidik danperluasan ruang lingkup wilayah (locus) penyidikan. Hestu mengatakan DJP saat ini sudah mendapat dukungan penuh dan menjalankan koordinasi yang baik dengan institusi penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan.
Hestu Yoga Saksama mengatakan WP OP non-karyawan yang tak membayar pajak pada tahun lalu masih perlu mendapat edukasi. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus, tindakan pengawasan terhadap WP menjadi langkah tepat untuk mendongkrak kepatuhan.
“Ke depan kami akan tingkatkan intensitas pengawasan kepada para WP OP non-karyawan agar mereka lebih patuh melaksanakan kewajiban pajak,” katanya.
Bankir harus mencari cara untuk menjaga permodalan mereka agar tidak tergerus di tengah tekanan pencadangan yang makin tinggi. Rasio pencadangan perbankan diprediksi meningkat di akhir 2019 dan awal 2020. Ini merupakan imbas penambahan pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CPKN) untuk pemenuhan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71 yang berlaku mulai 1 Januari 2020.
Defisit neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 tercatat senilai US$2,5 miliar. Nilai itu merupakan defisit bulanan tertinggi sejak April 2013. Impor tercatat sebesar US$15,1 miliar atau naik 12,2% secara bulanan. Sementara, ekspor justru turun 10,8% menjadi US$12,6 miliar.
“Perlu ada inovasi agar kita bisa keluar dari jebakan perdagangan dunia ini,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto.
Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang saat ini berada di level 6% masih cukup akomodatif di tengah tekanan eksternal yang kian kuat. Dengan demikian, perubahan dosis kebijakan moneter dinilai belum perlu untuk diambil dalam Rapat Dewan Gubernur BI yang berakhir pada hari ini. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.