(foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews – Relaksasi kebijakan fiskal dinilai membuka ruang terjadinya aliran dana gelap atau illicit financial flow. Pemerintah diminta untuk berpikir ulang terkait berbagai langkah pemberian fasilitas fiskal.
Hal tersebut terungkap dari hasil studi perkumpulan Prakarsa bertajuk 'Menguak Aliran Keuangan Gelap di Enam Komoditas Ekspor Unggulan Indonesia'. Hasil studi tersebut menemukan indikasi aliran keuangan gelap pada kurun 1989—2017 telah merugikan negara ratusan miliar dolar.
Terdapat tiga penanggap hasil studi Prakarsa ini. Ketiganya adalah Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji, Dosen FEB Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi, Direktur Riset dari Center of Reform on Economic (CORE) Piter Abdullah, dan Executive Director Perkumpulan Prakarsa Ah Maftuchan.
Enam komoditas ekspor yang menjadi sasaran tembak studi yakni batu bara, kelapa sawit, karet, kopi, tembaga, dan udang-udangan. Hasilnya, dalam periode itu, ada indikasi aliran keuangan gelap yang masuk senilai US$101,49 miliar. Sementara, aliran keuangan gelap yang keluar negeri mencapai US$40,58 miliar.
“Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan insentif terhadap kegiatan ekspor—impor karena menciptakan celah yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan pengelakan pajak secara masif,” kata peneliti Prakarsa Rahmanda M. Thaariq, Kamis (28/3/2019).
Lebih lanjut, dia menjabarkan insentif berupa tax holiday, tax allowance, pembebasan bea masuk dan kebijakan post border tidak selama berbuah positif. Relaksasi tersebut juga memberikan peluang bagi penyalahgunaan fasilitas.
Hasil studi tersebut juga membuka sedikit tabir praktik aliran keuangan gelap dalam ranah perdagangan internasional. Pembenahan dirasa perlu dilakukan karena dari enam komoditas andalan tersebut menguasai 21% pangsa perdagangan internasional Indonesia.
Dari total indikasi aliran dana gelap tersebut, ada potensi penerimaan pajak yang hilang. Hitung-hitungan Prakarsa menunjukan PPh dan PPN yang hilang dari 1989—2017 mencapai US$5,32 miliar dari komoditas batu bara. Kemudian, praktik aliran dana gelap di komoditas kelapa sawit dan karet menggerus penerimaan negara hingga US$4 miliar pada periode yang sama.
“Insentif tidak mencerminkan aspek keadilan. Insentif menjadi persoalan jika hanya diberikan kepada mereka yang melakukan kegiatan bisnis dengan skala besar,” imbuhnya. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.