Ilustrasi gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah menargetkan pertumbuhan penerimaan pajak 2020 sebesar 9%—12%. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Selasa (25/6/2019).
Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan target pertumbuhan 9%—12% dihitung berdasarkan asumsi pertumbuhan alamiah, yakni kombinasi asumsi pertumbuhan ekonomi dan inflasi.. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3% dan inflasi 3,5%, pertumbuhan alamiah pajak sudah hampir 9%.
“Nah, dengan angka tersebut, kita tambah extra effort, bisa diperkirakan 2020 tumbuh kurang lebih 9%—12% dari 2019,” ujarnya.
Namun, dia mengaku masih belum bisa memaparkan secara detail angka pasti target pemerintah. Usulan target akan disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo saat menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN 2020.
Seperti diketahui, basis perhitungan pertumbuhan juga masih belum pasti. Hal ini dikarenakan ada risiko shortfall – selisih kurang antara realisasi dan target – pajak pada tahun ini. Apalagi, hingga akhir Mei 2019, setoran pajak hanya tumbuh 2,4%.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti topik penerimaan bea keluar. Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) mengestimasi realisasi pos penerimaan tersebut tidak akan sesuai target Rp4,42 triliun. Apalagi, hingga 23 Juni 2019, penerimaan bea keluar baru mencapai Rp1,6 triliun atau sekitar 35% dari target.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan ruang bagi penerimaan pajak untuk tumbuh masih terbuka selama masih ada ketidakpatuhan wajib pajak. Extra effort akan sangat ditentukan oleh sejumlah kebijakan, salah satunya terkait dengan data.
“Kita toh juga makin canggih dalam menggunakan data. Saat ini, sumber data juga makin kaya, termasuk data keuangan dalam negeri maupun data keuangan luar negeri. Ini proses bisnis rutin yang kami lakukan,” jelasnya.
Ada tiga jenis data yang bisa digunakan pemerintah untuk mengoptimalisasi penerimaan pajak. Pertama, data kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Kedua, data hasil implementasi pertukaran informasi keuangan secara otomatis (automatic exchange of information/AEoI).
Ketiga, data dari pihak ketiga yang telah diidentifikasi. Data-data tersebut seharusnya bisa dijadikan dasar bagi pemerintah untuk mengamankan target penerimaan pajak. Apalagi, Ditjen Pajak (DJP) sudah bisa membentuk direktorat data dan informasi.
Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan upaya pengamanan target penerimaan pajak pada tahun ini lebih menantang dibandingkan dengan tahun lalu. Hal ini dikarenakan adanya perubahan kebijakan – dari sisi percepatan restitusi – maupun kondisi perekonomian yang tidak sesuai proyeksi awal.
Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan ada beberapa perubahan kebijakan yang dilakukan PT Freeport Indonesia. Hal ini berdampak pada penurunan ekspor. Hal serupa juga terjadi untuk Newmont. Kondisi ini membuat target penerimaan bea keluar tahun ini dipastikan tidak bisa sesuai target.
“Soal bea keluar, target kami kan Rp4,42 triliun dan sekarang baru Rp1,57 triliun. Akhir tahun tidak akan tercapai karena Freeport mengalihkan penambangan dari semula permukaan ke underground,” jelasnya.
Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Herman Juwono mengatakan penurunan tarif PPh badan di Indonesia berisiko memukul penerimaan negara. Oleh karena itu, dia meminta penurunan tarif dari 25% menjadi 20% dilakukan secara bertahap.
“Memang pengusaha ingin tax rate turun sehingga mendorong investasi, tapi kami paham ini dilematis bagi pemerintah karena risikonya besar terhadap penerimaan. Lebih baik turun gradual 3% dalam dua tahun ke depan sambil menunggu ekonomi membaik, juga sambil mengeskplor sumber-sumber pajak baru,” jelasnya. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.