PERMASALAHAN karakterisasi jenis penghasilan atas transaksi software merupakan sengketa pajak yang sering ditemui di berbagai yurisdiksi. Penghasilan atas software acapkali dikategorikan sebagai transaksi pembayaran royalti.
Salah satunya di India. Dalam kurun 10 tahun terakhir, tidak sedikit nama besar yang ikut terjerat kasus serupa, antara lain Infrasoft Ltd, Tata Consultancy Service, dan Samsung Electronics Co Ltd. Kasus tersebut juga menyeret entitas teknologi raksasa asal Amerika Serikat, yaitu Microsoft Corporation.
Kabar terkini datang dari Mahkamah Agung India (Indian Supreme Court/ISC) yang berperan sebagai lembaga pengadilan tertinggi. Pada 2 Maret 2021, ISC resmi mengeluarkan putusan terbaru dalam sengketa pajak atas karakterisasi jenis penghasilan transaksi software.
Putusan ISC mengenai sengketa karakterisasi jenis penghasilan transaksi software tersebut diulas Amar Mehta dalam tulisan berjudul Treaty Characterization of Software Income: The Indian Supreme Court's Landmark Decision of 2 March 2021. Tulisan ini dimuat Bulletin for International Tax, Volume 75, No. 4, Tahun 2021.
Adapun isi putusan yang diteliti Amar Mehta merupakan pemaparan sengketa pajak antara Engineering Analysis Centre of Excellence Pvt. Ltd. (EAC) sebagai wajib pajak India dengan otoritas pajak India. Sengketa bermula ketika EAC, selaku pembeli akhir, mengimpor software komputer secara langsung dari entitas teknologi yang berdomisili di Amerika Serikat.
Berdasarkan pada hasil pemeriksaan, otoritas pajak menetapkan atas transaksi yang dilakukan kedua belah pihak, terdapat unsur penyerahan hak cipta (copyright) yang sejatinya memunculkan pembayaran royalti. Dengan demikian, atas penghasilan tersebut perlu dikenakan pajak di India.
EAC berpendapat pengertian hak cipta (copyright) tidak tepat dikaitkan dengan pembayaran software. Adapun cakupan produk turunan dari hak cipta (copyright) lebih tepat dikategorikan sebagai karya sastra, seperti buku, CD musik, dan jenis lainnya.
EAC menegaskan atas pembelian software tersebut lebih tepat dikategorikan sebagai pembelian produk barang biasa yang tidak memuat unsur pengalihan hak cipta (copyright) sehingga tidak menimbulkan pembayaran royalti.
ISC meninjau pendekatan hukum seperti Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), peraturan domestik, dan doktrin hukum. Selain itu, keunikan ISC dalam memutus berkas perkara ini adalah dengan mengombinasikan lebih dari 100 berkas perkara yang masih berkaitan dengan isu karakterisasi penghasilan software atas perspektif P3B antara India dan yurisdiksi lawan transaksi.
Salah satu rujukan ISC dalam memutus perkara adalah berkas sengketa Infrasoft Ltd yang ditetapkan High Court of Delhi (DHC). Majelis hakim DHC berkesimpulan fungsi lisensi untuk tujuan proteksi software tidak dapat dikategorikan sebagai royalti berdasarkan pada Pasal 12 P3B India – Amerika Serikat.
Rujukan ISC lainnya yaitu terhadap berkas sengketa Samsung Electronics Co Ltd. Melalui hasil putusan yang ambil High Court of Karnataka (KHC), majelis hakim menetapkan India memiliki hak pemajakan atas penghasilan royalti yang dibayarkan oleh wajib pajak India kepada entitas penjual yang berdomisili di Amerika Serikat.
Pendapat akhir ISC menyimpulkan penghasilan yang diterima penyedia software di Amerika Serikat tidak bisa dianggap sebagai pembayaran royalti berdasarkan pada P3B yang berlaku. ISC juga berpendapat India tidak memiliki hak pemajakan atas unsur penghasilan tersebut.
Secara tidak langsung, hasil putusan ISC atas sengketa EAC menyatakan ketidaksetujuannya atas berkas sengketa Samsung Electronics Co Ltd yang ditetapkan KHC. Adapun putusan ISC dapat dikatakan sejalan dengan putusan yang ditetapkan oleh DHC dalam memutus berkas perkara Infrasoft Ltd.
Mengingat India menganut sistem peradilan common law, putusan ini tidaklah berlebihan jika diakui sebagai landmark decision. Putusan tersebut terbilang sangat penting karena telah menghadirkan wajah baru bagi India dalam menetapkan sengketa transaksi software.
Putusan ini bisa berdampak besar terutama bagi seluruh entitas asing industri software yang melakukan transaksi dengan para konsumen di India.
Tidak menutup kemungkinan, putusan ISC dengan berkas setebal 226 halaman ini dapat memperkaya sudut pandang dunia internasional yang memiliki isu sengketa pajak serupa. Selain itu, putusan itu diharapkan dapat pula memberikan sumbangan perspektif bagi Indonesia.
*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.