JAKARTA, DDTCNews – Pembaruan sistem inti administrasi perpajakan atau coretax administration system (CTAS) dinilai akan menciptakan perubahan positif bagi sistem perpajakan di Indonesia. Topik ini menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (5/6/2024).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan CTAS menjadi bagian dari reformasi perpajakan. Sejalan dengan perbaikan administrasi pajak melalui implementasi CTAS, pelayanan dan kepastian dalam perpajakan juga akan meningkat.
"Di sisi investasi sistem, Kementerian Keuangan terus memperbaiki dan membangun coretax system. Diharapkan akan jadi motor perubahan dari sisi pelayanan dan kepastian aspek perpajakan," katanya dalam rapat paripurna DPR.
Sri Mulyani menuturkan pemerintah akan melanjutkan reformasi perpajakan, termasuk dari aspek teknologi, untuk membuat proses bisnis di bidang pajak lebih efektif dan efisien. Selain itu, perbaikan juga menyentuh hal lainnya seperti regulasi dan sumber daya manusia.
Pada dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025, pemerintah menargetkan rasio perpajakan sebesar 10,09% - 10,29%. Pada 2029, diharapkan rasio perpajakan meningkat menjadi 10,58% - 11,48%.
Selain terkait dengan coretax system, ada pula ulasan mengenai ketentuan PPh Pasal 21 atas gaji pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Ada juga ulasan mengenai defisit RAPBN 2025 yang sudah memperhitungkan program prioritas pemerintahan baru.
Dalam dokumen KEM-PPKF 2025, disebutkan juga bahwa kebijakan teknis pajak 2025 salah satunya ialah integrasi teknologi untuk penguatan sistem perpajakan dengan cara melanjutkan implementasi CTAS dalam pengelolaan administrasi perpajakan.
CTAS telah diamanatkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) 40/2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan. Rencananya, CTAS bakal mengintegrasikan 21 proses bisnis utama Ditjen Pajak (DJP).
Proses bisnis tersebut yakni pendaftaran, pengawasan kewilayahan atau ekstensifikasi, pengelolaan SPT, pembayaran, data pihak ketiga, exchange of information, penagihan, taxpayer account management, dan compliance risk management (CRM).
Selanjutnya, ada pemeriksaan, pemeriksaan bukper dan penyidikan, business intelligence, intelijen, document management system, data quality management, keberatan dan banding, non-keberatan, pengawasan, penilaian, layanan edukasi, dan knowledge management.
Aparatur sipil negara (ASN) yang merupakan PPPK tidak berhak mendapatkan fasilitas PPh ditanggung pemerintah (DTP) layaknya pegawai negeri sipil (PNS).
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 202/2020 yang mengatur tentang pembayaran gaji dan tunjangan PPPK yang dibebankan pada APBN, gaji dan tunjangan PPPK dipotong PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Pembayaran gaji dan tunjangan PPPK dikenakan pemotongan PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan tidak ditanggung oleh pemerintah," bunyi Pasal 24 ayat (1) PMK 202/2020. (DDTCNews)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan kebijakan RAPBN 2025 akan terus didesain tetap ekspansif sekaligus terarah dan terukur.
Sri Mulyani mengatakan pemerintah mengusulkan defisit RAPBN 2025 pada kisaran 2,45% - 2,82% terhadap PDB. Menurutnya, RAPBN 2025 telah disusun secara hati-hati dengan mempertimbangkan berbagai risiko serta program prioritas pemerintah baru.
"Defisit yang kami sampaikan antara 2,45%-2,82% membiayai seluruh program-program prioritas pemerintah baru," katanya. (DDTCNews)
Dalam rangka penguatan basis perpajakan, pemerintah memasukkan prioritas pengawasan atas wajib pajak high wealth individual (HWI) dan wajib pajak group ke dalam kebijakan teknis pajak yang dilanjutkan pada 2025.
"Penguatan basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi dengan melakukan...prioritas pengawasan atas wajib pajak high wealth Individual beserta wajib pajak group, transaksi afiliasi dan ekonomi digital," tulis dokumen Kerangka KEM-PPKF 2025.
Selain itu, terdapat hal-hal lainnya yang akan dilakukan dalam penguatan basis perpajakan. Salah satunya ialah dengan perluasan edukasi perpajakan, peningkatan kerja sama perpajakan internasional, dan pemanfaatan digital forensik. (kontan.co.id)
Pemerintah perlu turut mempertimbangkan perspektif dan hak-hak wajib pajak dalam membentuk organisasi otoritas pajak semiotonom atau yang digadang-gadang bakal bernama Badan Penerimaan Negara (BPN).
Founder DDTC Darussalam menilai perlindungan hak wajib pajak tidak sebatas aspek pemungutan (finansial), tetapi juga erat kaitannya dengan hubungan yang seimbang antara wajib pajak dan otoritas pajak dalam kontrak fiskal yang ideal.
"Di banyak negara, pembentukan badan serupa BPN ini sering terdistorsi dengan hak-hak wajib pajak. Mengapa? Karena perspektifnya hanya untuk kepentingan negara saja. Bagaimana negara sebanyak mungkin mendapatkan penerimaan, sehingga lupa dengan hak-hak wajib pajak," katanya. (DDTCNews)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.