Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji.
JAKARTA, DDTCNews – Koordinasi antarnegara dinilai menjadi solusi yang tepat dalam mencegah praktik pengelakan dan penghindaran pajak di kawasan Asean.
Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan isu perpajakan, termasuk pencegahan penghindaran pajak, di kawasan Asean selama ini memang tidak terlalu berkembang dengan baik.
“Hal ini jauh berbeda dengan kawasan lain, seperti Amerika Latin, yang isu perpajakannya sudah jauh advance,” katanya dalam diskusi Asean Semiloka 2023: Transparansi dan Perpajakan yang Adil di Asean, Selasa (14/3/2023).
Bawono pun menjelaskan kondisi di negara-negara Asean yang menyebabkan isu perpajakan, termasuk pencegahan penghindaran pajak, tidak terlalu berkembang. Salah satunya ialah terkait dengan kebijakan fiskal, terutama pajak, di Asean yang beragam.
Hal ini bisa terlihat dari tingginya disparitas tarif pajak antarnegara di Asean, beragamnya insentif pajak, sistem pemajakan worldwide vs teritorial, corporate-shareholder taxation yang bervariasi, dan lain sebagainya.
Penyebab lainnya ialah skala ekonomi negara-negara di Asean juga beragam dan konektivitas ekonomi intra Asean yang terbilang rendah, termasuk dalam hal investasi langsung asing yang relatif rendah.
“Secara historis, negara-negara di Asean itu juga tidak terlalu concern terhadap mobilisasi penerimaan pajak domestik. Tax ratio saja paling banter 17-18%. Banyak negara tetangga kita yang penerimaannya itu lebih bergantung pada SDA,” tutur Bawono.
Dengan kondisi tersebut, terdapat implikasi yang ditimbulkan antara lain adanya mismatch aliran modal. Lalu, munculnya praktik offshore tax evasion. Kemudian, timbulnya fenomena high leverage yang berdampak terhadap kestabilan makroekonomi.
Implikasi lain, yaitu adanya praktik manipulasi transfer pricing, corporate inversion dan business restructuring. Praktik corporate inversion atau kedudukan perusahaan pengendali yang pindah ke luar negeri sering kali terjadi di negara yang menganut rezim worldwide.
“Lalu, ada juga isu-isu lainnya yang muncul seperti isu trust, beneficial ownership-nominee, hingga disparitas atau ketimpangan ekonomi yang makin lebar,” jelas Bawono.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, Bawono memandang koordinasi antara negara-negara Asean lebih memungkinkan dalam melawan praktik pengelakan atau penghindaran pajak ketimbang melakukan harmonisasi.
Ada beberapa bentuk koordinasi yang bisa dipertimbangkan. Pertama, memperluas ruang lingkup dan jenis kerja sama, tidak sekadar melakukan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B). Misal, kerja sama dalam hal bantuan penagihan pajak antarnegara.
Contoh lain ialah melakukan audit bersama atau joint audit antarnegara melalui otoritas pajaknya masing-masing terhadap perusahaan-perusahaan multinasional yang menerapkan praktik tidak baik atau perencanaan pajak yang agresif.
“Saat ini [joint audit] itu belum ada. Meski begitu, ini sebenarnya sudah mulai melalui Asean Inisiatif yang diprakarsai oleh Indonesia,” kata Bawono.
Kedua, memperkuat ketentuan antipenghindaran pajak. Saat ini, Indonesia sudah punya instrumen antipenghindaran pajak melalui Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022. Sayangnya, tidak semua negara di Asean yang memiliki alat antipenghindaran pajak tersebut.
Sebagai informasi, acara tersebut juga dilaksanakan bersamaan dengan momentum Indonesia menjadi Ketua Asean pada 2023. Dalam keketuan Asean 2023 ini, Indonesia mengambil tema Asean Matters: The Epicentrum of Growth. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.