ANALISIS PAJAK

Cara Baru Memajaki Ekonomi Digital

Rabu, 18 September 2019 | 10:10 WIB
Cara Baru Memajaki Ekonomi Digital

Anggi P.I. Tambunan,
DDTC Consulting

SIAPA yang kini tidak kenal Amazon, Tokopedia, E-Bay, dan Alibaba? Semuanya merupakan beberapa contoh brand belanja daring ternama di Indonesia. Aktivitas belanja daring adalah salah satu contoh dari kegiatan ekonomi digital. Kegiatan komersial kini dapat dilakukan semudah ‘menjentikkan jari’.

Seiring dengan hal tersebut, ketentuan perpajakan pun menemui tantangan yang semakin meningkat (Cockfield, 2013). Hal ini dikarenakan masih digunakannya prinsip lama dalam memajaki, khususnya atas penghasilan wajib pajak luar negeri (WPLN) dari aktivitas ekonomi digital di negara sumber.

Berdasarkan OECD Commentary, menempatkan server di negara sumber sudah cukup menjadi alasan (nexus) untuk dianggap adanya kehadiran fisik. Kehadiran fisik merupakan syarat dasar timbulnya Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagai basis negara sumber untuk melakukan pemajakan.

Masalah terjadi apabila server diletakkan bukan di negara sumber yang memungkinkan WPLN tidak memiliki kehadiran fisik. Hal ini mengakibatkan negara sumber kehilangan nexus untuk memunculkan BUT. Dalam konteks ini, tidak ada pemajakan jika tidak ada BUT (Darussalam dan Ngantung, 2017).

Konsekuensi logis yang muncul, negara sumber tidak dapat memperoleh hak untuk memajaki atas penghasilan yang diterima WPLN yang melakukan kegitan komersial digital di negaranya. Lalu, apa yang dapat dilakukan negara sumber agar memperoleh hak pemajakannya itu?

Jawaban atas pertanyaan tersebut coba disediakan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dengan menerbitkan dokumen konsultasi publik yang berjudul Addressing The Tax Challenges Of The Digitalization Of The Economy: Inclusive Framework of BEPS.

Pada dokumen tersebut disediakan tiga usulan konsep ketentuan bagi negara OECD dan G20 untuk diadopsi, yaitu: (i) merealokasikan basis pemajakan berdasarkan kontribusi dan jumlah pengguna (user) atau disebut dengan pendekatan kontribusi pengguna (user participant);

Selanjutnya (ii) merealokasikan basis pemajakan berdasarkan skema marketing intangible; dan (iii) merealokasikan basis pemajakan berdasarkan kehadiran ekonomi secara signifikan (significant economic presence/SEP) (Darussalam, 2019).

SEP meluaskan pandangan dari pengertian BUT itu sendiri. Hal ini menjadi penting mengingat BUT tidak lagi dilihat dari aspek kehadiran secara fisik, melainkan adanya kehadiran ekonomi secara signifikan sebagai nexus baru.

Hak memajaki timbul apabila WPLN memiliki kehadiran ekonomi secara signifikan berdasarkan faktor yang membuktikan adanya interaksi yang berkelanjutan di yuridksi negara sumber melalui teknologi digital. Penerimaan penghasilan yang berkelanjutan adalah faktor dasar untuk melihat hal tersebut.

Israel, India, dan Slovakia
BEBERAPA negara seperti India, Israel, dan Slovakia telah mengadopsi SEP dalam ketentuan domestiknya. Hal yang dilakukan pun sama, yaitu meluaskan pandangan atas BUT untuk dapat menjaring WPLN yang melakukan kegiatan usaha digital tanpa kehadiran fisik di negaranya.

Israel mengadopsi SEP sejak 2016. Ketentuan ini tidak ditujukan untuk seluruh WPLN, tetapi hanya terhadap WPLN dari negara yang tidak memiliki Double Tax Agreement (DTA) dengan Israel. Artinya, WPLN dari negara yang memiliki DTA dengan Israel, ketentuan BUT-nya mengikuti ketentuan lama.

Indikator yang digunakan Israel untuk membuktikan adanya SEP, yaitu penutupan kontrak secara daring, penggunaan produk dan jasa digital, situs web terlokalisasi, dan model bisnis multi-aspek. Perlu diperhatikan indikator ini tidak terbatas pada indikator di atas.

Pengaturan ini memberikan indikasi bahwa indikator-indikator di atas dapat diterapkan secara akumulasi ataupun terpecah-pecah. Selain itu, penerapannya tanpa diiringi dengan persyaratan seberapa besar nilai pendapatan yang diterima atas penjualan lokal.

India menerapkan SEP pada awal April 2019. Indikator yang digunakan dibagi dua, basis penjualan lokal dan basis jumlah pengguna lokal. Indikator ini memungkinkan India mengenakan pajak atas aktivitas ekonomi digital WPLN tanpa perlu melihat apakah perjanjian tersebut dibuat di India, WPLN memiliki tempat tetap di India, atau WPLN tersebut memberikan jasanya di India.

Aturan ini juga menegaskan kegiatan komersial digital yang dilakukan WPLN, seperti penjualan barang, jasa dan properti; transaksi yang melibatkan pengunduhan data atau perangkat lunak; penyediaan layanan pelatihan atau permainan daring; penyediaan layanan streaming; dan situs web, basis data daring, dianggap memiliki SEP di India yang pada akhirnya menimbulkan hak pemajakan.

Apabila disandingkan dengan SEP Israel, keduanya bersifat lebih umum dan tidak merujuk pada model bisnis tertentu. Hal ini berbeda dengan Slovakia yang menyasar industri tertentu, misalnya jasa perantara transportasi dan akomodasi. Persamaan lain dengan Israel adalah SEP di India hanya dapat diterapkan terhadap WPLN yang tidak memiliki DTA dengan India.

Berdasarkan sifatnya, SEP menjadi sebuah terobosan baru bagi negara sumber untuk melindungi hak pemajakannya. Merupakan hal yang baik apabila Indonesia tidak lagi menunggu konsensus global digital ekonomi pada 2020 dan segera menyematkan nexus SEP dalam peraturan domestik.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 18 Oktober 2024 | 15:30 WIB SERBA-SERBI PAJAK

Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

Senin, 07 Oktober 2024 | 17:00 WIB PENERIMAAN PAJAK

Hingga September, Setoran Pajak Sektor Digital Tembus Rp28,91 Triliun

Selasa, 01 Oktober 2024 | 17:17 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

DigiTax 4.0 sebagai Lompatan Besar dalam Sistem Perpajakan

BERITA PILIHAN