RESENSI JURNAL

Blueprint OECD Pillar 1 Kompleks, Bagaimana Implementasinya?

Redaksi DDTCNews | Senin, 26 Juli 2021 | 13:00 WIB
Blueprint OECD Pillar 1 Kompleks, Bagaimana Implementasinya?

PROPOSAL Pilar 1 yang diusung oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) bertujuan untuk menghadirkan sistem perpajakan internasional yang lebih adil melalui realokasi pemajakan kepada yurisdiksi pasar.

Skema tersebut merupakan salah satu solusi atas konsep pemajakan yang saat ini masih mengacu pada physical presence, bukan economic presence. OECD pun mengusung nexus baru di mana perusahaan multinasional bisa dikenai pajak meski tidak memiliki physical presence di negara terkait. Lantas, bagaimana basis hukum dan teknis implementasinya?

Berdasarkan proposal Pilar 1, skema terbaik untuk mengimplementasikan Pilar 1 adalah dengan menyusun konvensi multilateral baru (Chapter 10.2.2). Artinya, dibutuhkan suatu instrumen hukum internasional publik baru, yaitu konvensi multilateral yang konsisten dengan Pilar 1 dan hukum domestik sehingga tidak berbenturan dengan tax treaty yang berlaku saat ini (klausul permanent establishment).

Baca Juga:
Susun Pengaturan Kuasa dan Konsultan Pajak, Buku Ini Bisa Jadi Acuan

Berbeda dengan multilateral instrument (MLI), konvensi multilateral Pilar 1 tidak ditujukan untuk merubah suatu definisi dalam tax treaty, tetapi untuk menciptakan perjanjian stand alone yang akan mengatur hak pemajakan baru berdasarkan ketentuan Pilar 1.

Namun, realita menyusun konvensi multilateral yang konsisten dengan Pilar 1 dan hukum domestik tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Jinyan Li (2021) dalam publikasinya berjudul The Legal Challenges of Creating a Global Tax Regime with the OECD Pillar One Blueprint membenarkan hal tersebut. Dalam jurnalnya, Li membahas beberapa kendala basis hukum dan teknis yang mungkin akan dihadapi.

Baca Juga:
Benarkah Pajak Minimum Global Mendukung Kesetaraan Antarnegara?

Pertama, limitasi instrumen hukum internasional publik. Konvensi multilateral Pilar 1 tidak dapat berlaku dengan sendirinya (self-executing). Dengan kata lain, konvensi tersebut hanya dapat dianggap sebagai sumber hukum di suatu negara setelah melalui proses ratifikasi atau pengesahan.

Kedua, kekhawatiran domestik untuk mengadopsi Pillar 1. Tak dapat dimungkiri, penerimaan pajak di yurisdiksi pasar meningkat lantaran hak pemajakan akan didasarkan pada hasil penjualan di yurisdiksi pasar. Dengan demikian, negara tempat mayoritas multinational headquarters berada (seperti AS) harus ‘merelakan’ sebagian hak pemajakannya kepada yurisdiksi pasar.

Ketiga, kompleksitas hukum. Menggabungkan ketentuan Pillar 1 ke dalam ketentuan domestik suatu negara dengan sistem hukum pajak yang kompleks ataupun sederhana memiliki tantangannya sendiri, meskipun dengan alasan yang berbeda. Li memberikan contoh konkret dengan membandingkan antara sistem pajak Kanada dan China.

Baca Juga:
Mengupas Tantangan Pajak Akibat Mobilitas Individu di Era Digital

Kanada merupakan contoh negara dengan sistem pajak yang kompleks dan memiliki ketentuan transfer pricing (Section 247 dan Section 233.8) yang berbeda dengan prinsip internasional karena tidak mengacu pada OECD Transfer Pricing Guidelines dan tidak mengikuti rekomendasi BEPS Action Plan 13 terkait dengan kewajiban menyusun master file dan local file.

Apabila mengadopsi Pillar 1, ketentuan pajak penghasilan (PPh) Kanada setidaknya akan diamandemen di beberapa area, seperti memperluas definisi atas pengujian “menjalankan kegiatan usaha di Kanada” dalam subsection 2(3), mengubah penentuan laba dan laba kena pajak dalam section 3 dan 115, mengubah ketentuan transfer pricing terkait penggunaan metode formulary allocation dalam section 247, dan sebagainya.

Sebaliknya, China memiliki sistem pajak lebih sederhana dan secara umum telah sejalan dengan aturan perpajakan internasional. China juga tidak memerlukan suatu instrumen hukum khusus (e.g. ratifikasi) untuk menjadikan konvensi internasional sebagai sumber hukum di negaranya.

Baca Juga:
Memahami Konsep Pajak dan Kaitannya dengan Konstitusi

Untuk itu, konvensi multilateral Pilar 1 akan berjalan berdampingan dengan hukum pajak domestik China tanpa memerlukan perubahan yang signifikan, kecuali apabila terdapat ketentuan yang saling bertentangan satu sama lain.

Keempat, tujuan yang kurang jelas. Proposal Pilar 1 menyebutkan tujuan dari proposal ini adalah “to ensure fairness and equity in our tax systems and fortify the international tax framework ...; it can also help put government finances back on a sustainable footing.”

Li menilai cita-cita tersebut merupakan aspirasi belaka dan tidak bersifat operasional karena solusi yang ditawarkan oleh Pillar 1 tersebut dinilai tidak ditujukan untuk mencapai keadilan distributif.

Baca Juga:
Dampak Digitalisasi terhadap Urusan Pajak Perusahaan dan Otoritas

Kelima, ambivalensi terhadap Arm’s Length Principle (ALP). Li menilai OECD tidak konsisten dalam mengusung pendekatan alokasi proposal Pilar 1 yang secara prinsip serupa dengan metode global formulary apportionment. Terlebih, OECD sendiri sebelumnya tidak merekomendasikan metode tersebut karena dinilai tidak sejalan dengan ALP.

Dalam jurnal ini penulis berkesimpulan bahwa proposal Pilar 1 memerlukan basis hukum yang jelas dalam implementasinya. Hambatan hukum di tingkat nasional dikhawatirkan akan menentukan nasib pencapaian konsensus global atas proposal Pillar 1.

Terlepas dari dukungan Indonesia terhadap solusi yang ditawarkan oleh proposal Pilar 1, diharapkan pemerintah mempertimbangkan secara matang penentuan basis hukum yang tepat dalam menerapkan Pilar 1.

Baca Juga:
Akuntansi Pajak, Ini 2 Tahap Atasi Ketidakpastian Posisi PPh di Lapkeu

Jangan sampai urgensi untuk mencapai konsensus global tersebut justru kontraproduktif dengan rencana pemerintah dalam meminimalisasi distorsi akibat kesenjangan antara transformasi teknologi dengan rezim perpajakan saat ini.

Meski proposal Pilar 1 dianggap amat kompleks untuk diterapkan dan masih membutuhkan banyak simplifikasi, bukan berarti proposal Pilar 1 mustahil untuk diterapkan. Seperti yang dikatakan oleh Albert Einsten, “if at first an idea is not absurd, then there is no hope for it.”

*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 03 Desember 2024 | 15:11 WIB RESENSI BUKU

Susun Pengaturan Kuasa dan Konsultan Pajak, Buku Ini Bisa Jadi Acuan

Jumat, 29 November 2024 | 17:15 WIB RESENSI JURNAL

Benarkah Pajak Minimum Global Mendukung Kesetaraan Antarnegara?

Selasa, 27 Februari 2024 | 11:15 WIB RESENSI BUKU

Memahami Konsep Pajak dan Kaitannya dengan Konstitusi

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:30 WIB KOTA BATAM

Ada Pemutihan, Pemkot Berhasil Cairkan Piutang Pajak Rp30 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Bagaimana Cara Peroleh Diskon 50 Persen Listrik Januari-Februari 2025?

Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan