Seorang warga mengemas hasil pertanian beras Basmati di Sidowayah, Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah, Sabtu (25/9/2021). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/aww.
Attachments area
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah melakukan reformasi pajak pertambahan nilai (PPN) melalui pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan perluasan basis PPN melalui pengurangan pengecualian dan fasilitas PPN akan lebih mencerminkan keadilan bagi masyarakat. Meski demikian, UU HPP mengatur barang dan jasa strategis yang dibutuhkan masyarakat luas tetap memperoleh fasilitas pembebasan PPN.
"Reformasi PPN utamanya ingin mencapai 2 hal yaitu mampu mengantisipasi perubahan struktur ekonomi ke depan dan tetap menjaga distribusi beban pajak yang adil bagi seluruh masyarakat Indonesia," katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (14/10/2021).
Febrio mengatakan pemerintah melakukan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan dan kemanfaatan. Menurutnya, hal itu juga sejalan dengan prinsip perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum.
Peluang Indonesia untuk mewujudkan visi menjadi negara maju pada 2045 akan terbuka lebar apabila mampu mengapitalisasi arah perubahan struktur demografi. Dia menilai struktur demografi Indonesia cukup menguntungkan karena relatif didominasi kelompok usia produktif dan menurunnya angka ketergantungan penduduk.
Selain itu, terus bertumbuhnya kelompok kelas menengah dengan proporsi konsumsi yang cukup besar juga menjadi peluang yang sangat penting sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks tersebut, UU HPP menjadi cukup krusial untuk memanfaatkan peluang bertumbuhnya kelompok middle-class.
"Penyesuaian peraturan PPN pada UU HPP sejatinya juga mempertimbangkan peluang naiknya konsumsi masyarakat yang didorong oleh bertumbuhnya kelompok middle-class," ujarnya.
Di sisi lain, sambung Febrio, pemerintah melalui UU HPP menempatkan barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya sebagai penerima fasilitas pembebasan PPN. Oleh karena itu, masyarakat berpenghasilan rendah sampai menengah tetap tidak akan membayar PPN atas konsumsi barang dan jasa tersebut meskipun merupakan barang dan jasa kena pajak.
Pemerintah mencatat fasilitas PPN mendominasi belanja perpajakan setiap tahunnya. Pada tahun 2020 belanja perpajakan PPN diestimasi mencapai Rp140,4 triliun atau sekitar 60% dari total belanja perpajakan yang senilai Rp234,9 triliun. Dari angka tersebut, Rp40,6 triliun di antaranya berasal dari kebijakan pengecualian pemungutan PPN oleh pengusaha kecil (threshold PPN).
Sementara itu, kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap yaitu menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025. Walaupun terjadi kenaikan, angkanya masih relatif rendah dibandingkan dengan negara lain karena rata-rata dunia sebesar 15,4%.
Febrio menambahkan pemerintah melalui UU HPP juga memberikan kemudahan dalam pemungutan PPN kepada jenis barang atau jasa tertentu atau sektor usaha tertentu dengan skema tarif PPN final. Misalnya, sebesar 1%, 2%, atau 3% dari peredaran usaha.
"Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan tarif PPN dilakukan dengan tetap mempertimbangkan aspek kemudahan administrasi seperti yang selama ini telah dilakukan pemerintah," imbuhnya. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.