Tampilan awal Indonesia Taxation Quarterly Report Q2-2019.
JAKARTA, DDTCNews – Ada lima aspek yang perlu dipertimbangkan jika ingin mengenakan pajak atas laba ditahan (retained earnings) di Indonesia.
Kelima aspek itu dijabarkan DDTC Fiscal Research melalui ulasan berbasis akademis tentang pemajakan atas laba ditahan dalam Indonesia Taxation Quarterly Report Q2-2019 bertajuk ‘Memperluas Basis Pajak melalui Objek Pajak Baru’. (Download laporannya di sini).
Pertama, wacana pemajakan atas retained earnings tidak dapat dilepaskan dari sistem corporate-shareholder taxation yang berlaku. Pemilihan rezim tersebut sangat menentukan tarif pajak efektif agregat yang dialami oleh laba perusahaan.
“Adapun sistem klasikal menimbulkan tarif efektif terbesar terhadap suatu laba karena perseroan dan individu dianggap sebagai entitas yang sepenuhnya terpisah,” demikian penjelasan DDTC Fiscal Research dalam laporan tersebut, seperti dikutip pada Jumat (30/8/2019).
Kedua, pajak atas retained earnings akan berdampak pada kondisi keuangan perusahaan. Pengaruh tersebut antara lain termasuk perilaku perusahaan dalam memenuhi rasio utang terhadap ekuitas (debt-to-equity ratio/DER), nilai dan aktivitas transaksi saham, dan perilaku perusahaan dalam melakukan praktik pengalihan laba (profit shifting).
Ketiga, seperti yang dipraktikkan di beberapa negara, kebijakan pajak untuk meminimalkan retained earnings juga dapat ditujukan untuk mendorong investasi di negara tersebut. Wujud kebijakan bukan berupa jenis pajak baru, melainkan beban pajak penghasilan yang lebih rendah apabila retained earnings diminimalkan dalam batas tertentu.
Keempat, pemajakan atas retained earnings sebagai dividen yang sudah diakui (deemed dividends) akan menyeterakan perlakuan antara penghasilan dividen yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
Kelima, dalam mendesain pemajakan atas retained earnings, diperlukan kehati-hatian agar fitur kebijakan benar-benar menyasar tujuan diadakannya aturan tersebut dan meminimalkan distorsi keputusan bisnis perusahaan.
Adapun fitur-fitur kebijakan tersebut mencakup beberapa hal. Pertama, adanya threshold atau batasan tertentu terhadap retained earnings yang dikenakan pajak. Kedua, dilakukan pengujian-pengujian terlebih dahulu apakah setiap retained earnings memiliki motif bisnis dan bukan penghindaran pajak.
Ketiga, pengecualian karakteristik atau ruang lingkup perusahaan-perusahaan yang tidak termasuk ke dalam rezim pajak retained earnings. Selama perusahaan memenuhi salah satu kriteria fitur kebijakan tersebut, DDTC Fiscal Research berpendapat sebaiknya retained eanings yang dilakukan tetap tidak dikenakan pajak.
“Dengan begitu, pemajakan terhadap retained earnings dapat dilakukan secara tepat sasaran dengan meminimalkan distorsi ekonomi dan pengambilan keputusan perusahaan,” demikian pernyataan dalam laporan tersebut.
Seperti diketahui, Indonesia Taxation Quarterly Report diterbitkan rutin secara kuartalan oleh DDTC Fiscal Research. Dalam laporan tersebut, DDTC Fiscal Research selalu mengulas beberapa topik khusus terkait perpajakan. Perkembangan terkini dari kondisi fiskal juga selalu ada di tiap kuartalnya. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.