KEBIJAKAN PAJAK

Berapa Tarif Ideal Pajak Minimum Global? Ini Kata Periset

Redaksi DDTCNews | Jumat, 11 Juni 2021 | 15:50 WIB
Berapa Tarif Ideal Pajak Minimum Global? Ini Kata Periset

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Kesepakatan awal yang dicapai G7 terkait dengan pajak minimum global mulai memunculkan perdebatan. Salah satunya mengenai tarif yang disepakati minimum 15%.

Beberapa pihak, Tax Justice Network misalnya, mengkritik tarif pajak minimum global yang telah disepakati G7 masih terlalu rendah. Beberapa artikel mengenai pajak minimum global, termasuk pro-kontranya, dapat dibaca di sini.

“Perdebatan mengenai tarif tentu akan sengit karena ada winner dan loser dari kesepakatan tersebut,” ujar Researcher DDTC Fiscal Research Lenida Ayumi, Jumat (11/6/2021).

Baca Juga:
Malaysia Sebut Pajak Minimum Global Berdampak Baik ke Keuangan Negara

Dalam catatan DDTC Fiscal Research, sambung Ayumi, skenario tarif pajak minimum global akan mengakibatkan 3 implikasi. Pertama, adanya negara yang diuntungkan (better off) karena tarif pajaknya berada di atas minimum.

Kedua, dampak netral karena tarif umum yang berlaku di negara tersebut sama dengan tarif pajak minimum global. Ketiga, dampak negatif (worse off), terutama untuk negara yang tarifnya akan berada di bawah tarif pajak minimum global sehingga mengurangi daya saing pajaknya.

Ayumi mengatakan berdasarkan pada studi komparasi yang dilakukan DDTC Fiscal Research atas tarif PPh badan umum yang tertera dalam undang-undang (statutory tax rate) di 173 negara, ada beberapa hal menarik.

Baca Juga:
Majelis Umum PBB Resmi Adopsi ToR Pembentukan Konvensi Pajak

Jika tarif yang ditetapkan ialah sama dengan kesepakatan G7 yaitu sebesar 15%, akan ada dampak worse off kepada 28 negara, termasuk di antaranya Irlandia, Makau, Swiss, dan Siprus. Namun, jika kesepakatan akhir ternyata lebih rendah, misalnya 10%, dampaknya hanya akan menyasar negara-negara yang memang kerap disebut tax haven seperti Jersey, Bermuda, dan Cayman Islands.

Menariknya, jika tarif pajak minimum global justru ditetapkan lebih tinggi, misalnya sebesar 20%, ada 50 negara yang mau tidak mau harus kehilangan daya saingnya seperti Singapura, Hong Kong, Mauritius, bahkan UK.

Namun demikian, pajak minimum global berupa tarif pajak efektif, yaitu beban pajak penghasilan (PPh) yang secara aktual dibayar kepada negara. Dengan adanya fasilitas dan rezim pajak khusus, sambungnya, tarif pajak efektif di suatu negara bisa jadi berada di bawah statutory tax rate.

Baca Juga:
Pemerintah segera Umumkan Kebijakan Final Soal PPN 12 Persen

“Oleh karena itu, jumlah negara yang worse off bisa jadi lebih banyak,” imbuh Ayumi.

Adanya penerapan tarif pajak minimum global juga diproyeksi akan mengubah aliran modal dunia. Jika mengamati pola aliran investasi global, negara-negara yang memiliki ekonomi substansi yang rendah -ditunjukkan dengan porsi PDB nasional terhadap PDB global yang minim- justru kerap berperan sebagai tujuan atau sumber investasi.

Hal tersebut diduga akibat adanya praktik penghindaran pajak, penyembunyian harta, serta rerouting investment. Oleh sebab itu, kesepakatan mengenai tarif pajak minimum global tidak hanya menjadi katalis konsensus mengenai pajak digital, tapi juga mengurangi kompetisi tarif dan praktik pengalihan laba. Simak ‘Kesepakatan G7 Soal Pajak Minimum Global, Kabar Baik untuk Indonesia’.

Baca Juga:
BKF: Kurang dari 10 WP Tax Holiday yang Terdampak Pajak Minimum Global

Khusus untuk pengalihan laba, sambungnya, praktik tersebut sangat dipicu perbedaan tarif PPh badan antarnegara. Besarnya gap antara tarif suatu negara dan negara lain akan mendorong pengalihan laba, seperti melalui manipulasi transfer pricing, thin capitalization, dan sebagainya.

Hal tersebut juga telah dibuktikan melalui berbagai literatur yang bersifat empiris. Simak pula kajian DDTC bertajuk Measuring BEPS and Its Countermeasures in Indonesia: A Preliminary Research Guide.

Terkait dengan tarif pajak minimum global, sambung Ayumi, kesepakatan awal yang dicapai G7 akan dirundingkan kembali dalam forum yang lebih luas, seperti BEPS Inclusive Framework yang beranggotakan lebih dari 130 negara. Perundingan inilah yang akan menentukan.

“Pasalnya, dengan adanya jargon kedaulatan fiskal, setiap negara memiliki hak penuh untuk menentukan tarif pajaknya. Dengan demikian, kesepakatan ini tentu akan melibatkan elemen politik ekonomi tiap negara,” imbuh Ayumi. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 13 Desember 2024 | 11:30 WIB PAJAK INTERNASIONAL

Majelis Umum PBB Resmi Adopsi ToR Pembentukan Konvensi Pajak

Kamis, 12 Desember 2024 | 09:05 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pemerintah segera Umumkan Kebijakan Final Soal PPN 12 Persen

Rabu, 11 Desember 2024 | 12:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

BKF: Kurang dari 10 WP Tax Holiday yang Terdampak Pajak Minimum Global

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra