INSENTIF FISKAL

Belanja Perpajakan Bisa Lebih Rendah Meski Banyak Insentif

Muhamad Wildan | Jumat, 19 Maret 2021 | 15:45 WIB
Belanja Perpajakan Bisa Lebih Rendah Meski Banyak Insentif

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCNews – Meskipun sudah menggelontorkan berbagai insentif pajak selama masa pandemi Covid-19, belanja perpajakan (tax expenditure) diproyeksi bisa lebih rendah dari tahun sebelumnya.

Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Pande Putu Oka Kusumawardhani mengatakan tidak semua insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah pada 2020 dapat dikategorikan sebagai belanja perpajakan.

“Bicara insentif pajak, itu banyak dukungan kepada cash flow. Ini belum tentu jadi belanja perpajakan. Belanja perpajakan angkanya mungkin tidak sebesar perkiraan awal padahal insentif 2020 cukup beragam," ujar Oka dalam media visit secara virtual ke DDTCNews, Jumat (19/3/2021).

Baca Juga:
Veteran dan Pensiunan Dapat Insentif, Setoran PBB Tetap Capai Target

Insentif bisa dikategorikan sebagai belanja perpajakan bila memang menimbulkan net revenue forgone. Adapun insentif yang banyak diberikan pemerintah pada 2020 adalah insentif yang tidak menimbulkan revenue forgone.

Dia memberi contoh adanya pemberian insentif pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50%. Insentif ini tidak menimbulkan revenue forgone karena nantinya wajib pajak tetap membayarkan PPh Pasal 29 setelah satu tahu pajak berakhir.

Selain faktor definisi, belanja perpajakan 2020 juga bisa jadi tidak setinggi 2019 akibat menurunnya aktivitas perekonomian. Oka menerangkan bila perekonomian mengalami penurunan, fasilitas pajak akan dimanfaatkan juga lebih sedikit.

Baca Juga:
Diperpanjang hingga 2030, Lahan Pertanian di Negara Ini Bebas Pajak

Menurutnya, jika tidak ada basis pengenaan pajak karena perekonomian lesu, insentif juga cenderung tidak terlalu banyak dimanfaatkan.

“Saat ekonomi turun, omzet turun maka basis pemajakan juga turun sehingga kalau ada fasilitas yang diberikan, itu juga sebenarnya jadi tidak bisa diberikan karena basisnya tidak ada," ujar Oka.

Sebagai contoh, PPN dikenakan berdasarkan pada konsumsi masyarakat. Bila konsumsi mengalami penurunan maka basis pemajakan juga turun. Alhasil, pemanfaatan fasilitas pajak juga ikut mengalami penurunan. (kaw)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Senin, 23 Desember 2024 | 17:30 WIB KABUPATEN SIDOARJO

Veteran dan Pensiunan Dapat Insentif, Setoran PBB Tetap Capai Target

Senin, 23 Desember 2024 | 09:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Jasa Layanan QRIS Kena PPN 12%, Pembeli Tak Kena Beban Pajak Tambahan

Minggu, 22 Desember 2024 | 13:00 WIB KPP PRATAMA SINTANG

WP Dapat Surat Tagihan, Fiskus Ingatkan Lagi Jadwal Setor PPh Pasal 25

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra