KASUS PAJAK GOOGLE

Begini Cara Inggris Memajaki Google

Redaksi DDTCNews | Senin, 17 Oktober 2016 | 11:45 WIB
Begini Cara Inggris Memajaki Google

MALANG, DDTCNews – Pemerintah Indonesia diminta untuk belajar banyak dari kesuksesan negara Ratu Elizabeth II, Inggris dalam memaksa Google membayar pajak di negara tersebut. Pasalnya, sampai saat ini pemerintah masih kebingungan menerapkan cara yang tepat untuk memaksa Google membayar pajak.

Hal itu diungkapkan Pengamat Perpajakan Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam. Dia menerangkan Inggris menyerang Google dari dua tekanan, yaitu reputasi dan pemberlakuan jenis pajak baru.

Dari sisi reputasi, Inggris mencitrakan Google sebagai perusahaan yang tak bermoral dan berupaya untuk melakukan upaya penghindaran pajak (tax avoidance) melalui ucapan anggota parlemen Inggris. Ucapan tersebut, lanjut Darussalam, kemudian dimuat dalam media massa dan membuat publik mempertanyakan siasat Google.

Baca Juga:
DDTC Town Hall: From Vision to Action, Empowering Tomorrow

"Ada ucapan dari anggota parlemen Inggris yang menyebut kantor perwakilan Google di Inggris bukanlah perusahaan ilegal, melainkan perusahaan tak bermoral. Karena bisa jadi mereka membayar pajak lebih kecil, padahal memiliki penghasilan yang lebih tinggi," ujarnya baru-baru ini.

Bak gayung bersambut, lontaran anggota lembaga legislatif tersebut mendapat perhatian serius dari pemerintah Inggris dengan menerbitkan peraturan perpajakan baru. Negara tersebut kemudian mengetok tarif pajak yang lebih tinggi bagi Google dan perusahaan penyaluran data melalui internet (Over The Top/OTT) lainnya yang enggan mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) di dalam negeri.

Pajak yang disebut diverted profit tax ini, lanjutnya, merupakan jenis pajak baru dan bukan PPh badan. Sehingga, pengenaan ini tidak menyalahi ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Baca Juga:
Town Hall 2025, DDTC Apresiasi dan Dukung Pengembangan Karier Pegawai

Darussalam menjelaskan, pajak ini hanya dikenakan jika perusahaan OTT diketahui membuat BUT di negara lain yang tarif PPh-nya di bawah 80% dari tarif PPh badan Inggris.

Sebagai contoh, dengan tarif PPh badan Inggris senilai 20%, perusahaan OTT yang ketahuan mendirikan BUT di negara yang memiliki tarif PPh di bawah 16%, akan dikenakan diverted profit tax 25%.

"Dan itu pun akhirnya memaksa Google untuk mendirikan BUT di Inggris karena Google tidak bisa berlindung di balik tirai tax treaty pajak berganda. Saya rasa, berkaca dari pengalaman ini, Indonesia bisa menerapkannya," jelasnya.

Baca Juga:
Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%

Darussalam berpendapat langkah ini juga bisa diterapkan di Indonesia. Apalagi secara payung hukum, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 tahun 2016, yang menyebut bahwa perusahaan OTT di Indonesia wajib membangun BUT.

Apabila BUT sudah terbentuk, maka perusahaan OTT seperti Google bisa dikenakan pajak karena sudah berstatus wajib pajak.

"Namun di sisi lain, Indonesia perlu merevisi kembali definisi BUT. Karena BUT tidak hanya sekadar memiliki bentuk fisik semata. Lebih lanjut, pemerintah juga perlu meninjau kembali tax treaty agar pengenaan pajak baru juga bisa efektif," pungkasnya. (Amu)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 23 Januari 2025 | 19:30 WIB DDTC TOWN HALL 2025

DDTC Town Hall: From Vision to Action, Empowering Tomorrow

Kamis, 23 Januari 2025 | 17:45 WIB DDTC TOWN HALL

Town Hall 2025, DDTC Apresiasi dan Dukung Pengembangan Karier Pegawai

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:00 WIB KELAS PPN

Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%

Rabu, 18 Desember 2024 | 18:15 WIB DDTC YEAR END DINNER 2024

Year End Dinner 2024, DDTC Tanamkan Core Values bagi Seluruh Pegawai

BERITA PILIHAN
Jumat, 31 Januari 2025 | 19:30 WIB KONSULTASI PAJAK    

DJP Bisa Tentukan Nilai Harta Berwujud, Ini yang Perlu Diperhatikan

Jumat, 31 Januari 2025 | 19:00 WIB PMK 136/2024

Pajak Minimum Global Bagi WP CbCR Bisa Dinolkan, Begini Kriterianya

Jumat, 31 Januari 2025 | 17:15 WIB DDTC ACADEMY - INTENSIVE COURSE

Wah, Transaksi Intragrup Naik! Perlu Paham Transfer Pricing

Jumat, 31 Januari 2025 | 16:11 WIB CORETAX SYSTEM

Bermunculan Surat Teguran yang Tak Sesuai di Coretax? Jangan Khawatir!

Jumat, 31 Januari 2025 | 15:47 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Banyak Tantangan, Insentif Fiskal Jadi Andalan untuk Jaga Pertumbuhan

Jumat, 31 Januari 2025 | 15:31 WIB KEBIJAKAN PAJAK

WP Tax Holiday Terdampak Pajak Minimum Global, PPh Badan Turun Lagi?

Jumat, 31 Januari 2025 | 15:11 WIB KEBIJAKAN INVESTASI

Supertax Deduction Kurang Laku, Ternyata Banyak Investor Tak Tahu

Jumat, 31 Januari 2025 | 14:30 WIB PROVINSI JAWA BARAT

Demi Kejar Pajak, Dinas ESDM Petakan Ulang Sumur Air Tanah di Daerah

Jumat, 31 Januari 2025 | 13:45 WIB PAJAK MINIMUM GLOBAL

Ada Pajak Minimum Global, RI Cari Cara Biar Insentif KEK Tetap Menarik

Jumat, 31 Januari 2025 | 13:25 WIB TAX CENTER UNIVERSITAS ADVENT SURYA NUSANTARA

Gratis untuk Umum! Sosialisasi Soal Coretax, PPN 12%, dan SAK EMKM-EP