APABILA membaca literatur kepabeanan, kerap kali terlihat beragam istilah yang berkaitan dengan surat penetapan. Selain surat penetapan tarif dan/atau nilai pabean (SPTNP), ada pula istilah surat penetapan pabean.
Pihak yang sering berkecimpung dengan kepabeanan tentu tidak asing dengan jenis-jenis penetapan dari pejabat bea dan cukai tersebut. Namun, istilah itu boleh jadi kurang familier di telinga pihak yang tak banyak berinteraksi dengan urusan kepabeanan.
Untuk itu, istilah surat penetapan pabean cukup menarik untuk diulik. Lantas, apa itu surat penetapan pabean?
Ketentuan mengenai surat penetapan pabean di antaranya diatur dalam PMK 51/2008 s.t.d.t.d PMK 61/2018 yang mengatur tentang tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administrasi, serta penetapan dirjen bea dan cukai atau pejabat bea dan cukai.
Kendati turut mengatur soal surat penetapan pabean, beleid tersebut tidak memberikan definisi secara eksplisit. Namun, pengertian surat penetapan pabean dapat mengacu pada Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) PMK 51/2008 s.t.d.d PMK 147/2009.
Berdasarkan pasal itu, surat penetapan pabean (SPP) adalah surat penetapan yang digunakan untuk memberitahukan dan menagih kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI).
Berbeda dengan SPTNP, SPP terbit selain karena penetapan tarif dan/atau nilai pabean berdasarkan pemberitahuan pabean impor (PPI). SPP ini berkaitan dengan pelaksanaan sejumlah pasal dalam UU Kepabeanan.
Secara lebih terperinci, pasal yang terkait dengan penerbitan SPP adalah Pasal 8A ayat (2), Pasal 10A ayat (3), Pasal 43 ayat (3), Pasal 45 ayat (4), dan Pasal 86A Undang-Undang Kepabeanan.
Misal, SPP bisa terbit apabila terdapat selisih barang impor antara yang dibongkar dengan yang diberitahukan. Atas selisih tersebut, pengusaha atau importir pun tidak tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya.
Selisih jumlah barang impor tersebut membuat adanya kekurangan pembayaran bea masuk dan PDRI serta pengenaan sanksi administrasi. Kekurangan pembayaran bea masuk, PDRI, dan sanksi itu lah yang akan ditetapkan dan ditagih melalui SPP.
Selain itu, SPP juga bisa diterbitkan apabila hasil audit kepabeanan atas Perusahaan penerima fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) mendapati adanya selisih barang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk diperhatikan, selisih barang tersebut merupakan barang yang masih terutang bea masuk dan PDRI. Atas kekurangan bea masuk dan PDRI itu, pejabat bea dan cukai akan menagihnya dengan menggunakan SPP. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.