SECARA sederhana, desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pendelegasian tanggung jawab dan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengambil keputusan di bidang fiskal.
Wewenang tersebut meliputi pengaturan atas aspek penerimaan dan pengeluaran, termasuk pemungutan pajak daerah. Setelah 2 dasawarsa berjalan, pelaksanaan desentralisasi fiskal dan pajak daerah terus mengalami perkembangan.
Untuk itu, pemerintah menyesuaikan ketentuan mengenai desentralisasi fiskal dan pajak daerah guna mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Penyesuaian tersebut dilakukan melalui UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).
UU HKPD mencabut dan menggantikan ketentuan terdahulu, di antaranya UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Dalam UU HKPD, terdapat jenis pajak baru yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi, yaitu opsen pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB).
Lantas, apa itu opsen pajak MBLB? Opsen adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu (Pasal 1 angka 61 UU HKPD). Berdasarkan Pasal 81 huruf c UU HKPD, opsen di antaranya dikenakan atas pajak terutang dari pajak MBLB.
Sementara itu, pajak MBLB adalah pajak yang dipungut pemerintah kabupaten/kota atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
Secara ringkas, mineral bukan logam adalah mineral yang unsur utamanya terdiri atas bukan logam. Adapun batuan berarti massa padat yang terdiri atas satu jenis mineral atau lebih yang membentuk kerak bumi, baik dalam keadaan terikat maupun lepas (Permen-ESDM 5/2017).
Jenis mineral bukan logam dan batuan yang termasuk objek pajak MBLB antara lain asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonite, dolomit, feldspar, garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, dan leusit.
Nah, opsen pajak MBLB merupakan pungutan tambahan yang dikenakan atas pajak MBLB. Sebagai suatu pungutan tambahan, wajib pajak opsen mengikuti pajak yang ditumpangi (diopsenkan). Dengan demikian, wajib pajak untuk opsen pajak MBLB sama seperti wajib pajak MBLB.
Namun, berbeda dengan pajak, opsen tidak dikenakan berdasarkan pada nilai transaksi atau nilai objek pajak. Dasar pengenaan opsen ialah besaran pajak terutang yang diopsenkan. Hal ini berarti cara menghitung opsen adalah tarif opsen dikalikan besaran pajak yang diopsenkan.
Merujuk Pasal 83 UU HKPD, tarif opsen pajak MBLB ditetapkan 25% dari besaran pajak MBLB terutang. Berarti, opsen pajak MBLB dihitung dengan mengalikan tarif 25% dengan besaran pajak MBLB terutang (tarif pajak MBLB dikalikan dengan nilai jual hasil pengambilan MBLB).
Misal, Perusahaan A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pengambilan batu andesit sebanyak 300 ton dengan nilai jual sebesar Rp40.000 per ton.
Tarif pajak MBLB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 20%, sedangkan tarif opsen Pajak MBLB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 25%.
Maka atas pengambilan pasir tersebut Perusahaan A terutang pajak MBLB sebesar =20% x (300 ton x Rp40.000) = Rp2.400.000. Lalu, opsen pajak MBLB terutang adalah sebesar 25% x Rp2.400.000 = 600.000.
Dengan demikian, Perusahaan A perlu membayar pajak MBLB sebesar Rp2.400.000 dan opsen pajak MBLB sebesar Rp600.000. Pajak MBLB menjadi penerimaan Pemda Kabupaten X, sedangkan opsen pajak MBLB menjadi penerimaan Pemda Provinsi S.
Guna menyederhanakan administrasi, opsen pajak MBLB akan dipungut secara bersamaan dengan pajak MBLB. Adapun wilayah pemungutan opsen Pajak MBLB terutang merupakan wilayah daerah tempat pengambilan MBLB.
Kendati menambahkan opsen pajak MBLB, pemerintah pusat menurunkan tarif maksimal atas pajak MBLB. Sebelumnya, berdasarkan UU PDRD, pemerintah daerah dapat menetapkan tarif pajak MBLB maksimal sebesar 25%.
Dengan UU HKPD, pemerintah daerah hanya dapat menetapkan tarif pajak MBLB paling tinggi 20%. Alhasil, opsen pajak MBLB secara umum tidak menambah beban pajak yang harus ditanggung wajib pajak MBLB.
Masih menggunakan contoh kasus di atas, berdasarkan UU PDRD, Perusahaan A harus menanggung pajak MBLB sebesar 25% x (300 ton x Rp40.000) = Rp3.000.000. Besaran pajak terutang itu sama dengan pajak MBLB ditambah dengan opsen pajak MBLB yang ditanggung Perusahaan A.
UU HKPD menjelaskan bahwa penambahan opsen pajak MBLB untuk provinsi dimaksudkan sebagai sumber penerimaan baru. Kebijakan tersebut diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di daerah.
Tak hanya itu, pemerintah juga berharap kebijakan opsen dapat mendukung pengelolaan keuangan daerah lebih berkualitas, serta mendorong peran pemerintah daerah dalam melakukan ekstensifikasi perpajakan daerah.
Untuk diperhatikan opsen pajak MBLB baru mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal UU HKPD diundangkan, yaitu pada 5 Januari 2022. Artinya, ketentuan mengenai opsen pajak MBLB baru berlaku mulai 5 Januari 2025. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.