PERDAGANGAN internasional yang terus berkembang membuat arus keluar masuk barang dari suatu negara semakin pesat. Tidak hanya perusahaan, orang pribadi pun kini banyak yang melakukan kegiatan perdagangan lintas batas, terutama impor.
Hal tersebut membuat pengetahuan akan cara perhitungan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) penting diketahui. Adapun salah satu komponen yang menjadi dasar dalam perhitungan bea masuk dan PDRI adalah nilai pabean. Lantas, apa itu sebenarnya nilai pabean?
Nilai pabean adalah nilai yang digunakan sebagai dasar untuk penghitungan bea masuk dan pungutan dalam rangka impor lainnya. Nilai pabean digunakan untuk menghitung bea masuk jika tarif yang digunakan berdasarkan tarif advalorem (persentase) (Ditjen Bea dan Cukai, 2013).
Indonesia mengadopsi ketentuan nilai pabean berdasarkan Agreement on Implementation of Article VII of GATT 1994 (WTO Valuation Agreement). Adopsi ini dituangkan dalam Pasal 15 UU No. 10 Tahun 1995 s.t.d.d. Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan
Selanjutnya, aturan pelaksana terkait dengan nilai pabean tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.160/PMK. 04/2010 tentang Nilai Pabean untuk Penghitungan Bea Masuk s.t.d.d PMK No. 62/PMK.04/2018.
Secara ringkas, ada 6 metode untuk menetapkan nilai pabean yang harus diterapkan secara hierarki. Pertama, nilai transaksi. Kedua, nilai transaksi barang identik. Ketiga, nilai transaksi barang serupa. Keempat, metode deduksi. Kelima, metode komputasi. Keenam, metode pengulangan (fallback).
Metode nilai transaksi menjadi cara penetapan bea masuk yang paling banyak digunakan. Pasalnya, nilai transaksi dari barang impor bersangkutan memang menjadi dasar utama penetapan nilai pabean. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) PMK 160/2010 yang dimaksud dengan nilai transaksi adalah:
“Harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar oleh pembeli kepada penjual atas barang yang dijual untuk diekspor ke dalam Daerah Pabean, ditambah dengan biaya-biaya dan/atau nilai-nilai yang harus ditambahkan pada nilai transaksi, sepanjang biaya-biaya dan/ atau nilai-nilai tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar.”
Secara lebih terperinci, biaya dan/atau nilai yang harus ditambahkan pada harga barang untuk dapat digunakan sebagai nilai transaksi, antara lain komisi dan jasa perantara, kecuali komisi pembelian; biaya pengepakan; royalti dan biaya lisensi; dan biaya asuransi.
Nilai transaksi yang dapat menjadi nilai pabean harus memenuhi International Commercial Terms (incoterms) Cost, Insurance, dan Freight (CIF). Namun, dalam hal nilai pabean tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi maka dihitung menggunakan metode pada hierarki selanjutnya.
Adapun besarnya nilai pabean akan sangat memengaruhi jumlah bea masuk dan PDRI yang harus dibayarkan. Dalam sistem self assessment, importir harus secara mandiri memberitahukan data barang yang diimpor termasuk menghitung sendiri pungutan yang mesti dibayar.
Pemberitahuan nilai pabean oleh importir ini harus tepat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila pemberitahuan nilai pabean lebih rendah dari yang seharusnya maka importir harus membayar kekurangan pembayaran dan dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
Ketentuan lebih lanjut mengenai nilai pabean dapat disimak dalam Agreement on Implementation of Article VII of GATT 1994, UU No. s.t.d.d. UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, dan PMK 160/2010 tentang Nilai Pabean untuk Penghitungan Bea Masuk s.t.d.d PMK 62/2018. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.