SENGKETA pajak lintas yurisdiksi dapat muncul ketika dua negara saling mengklaim hak pemajakan atas suatu penghasilan yang diterima oleh wajib pajak. Sengketa tersebut akan cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya perdagangan dan investasi lintas yurisdiksi.
Dalam merespons persoalan ini, Pasal 25 OECD Model maupun UN Model Convention menyediakan mekanisme di luar dari upaya hukum yang tersedia dalam hukum domestik suatu negara. Mekanisme ini hanya dapat dilakukan oleh otoritas pajak suatu negara dan negara mitra yang terikat dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B).
Adapun mekanisme yang dimaksud adalah prosedur persetujuan bersama atau yang disebut dengan Mutual Agreement Procedure (MAP). Lantas apa itu MAP?
Secara sederhana, MAP merupakan alternatif bagi wajib pajak untuk menyelesaikan sengketa yang menimbulkan pemajakan berganda, atau apabila terdapat indikasi bahwa tindakan otoritas negara mitra menyebabkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B atau sengketa transfer pricing.
Rumusan ketentuan MAP dalam Pasal 25 ayat 1 OECD Model berbunyi sebagai berikut:
“Where a person considers that the actions of one or both of the Contracting States result or will result for him in taxation not in accordance with the provisions of this Convention, he may, irrespective of the remedies provided by the domestic law of those States, present his case to the competent authority of the Contracting State of which he is a resident or, if his case comes under paragraph 1 of Article 24, to that of the Contracting State of which he is a national. The case must be presented within three years from the first notification of the action resulting in taxation not in accordance with the provisions of the Convention."
Dari rumusan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, apabila subjek pajak orang pribadi dan badan dikenakan pajak atau akan dikenakan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B, subjek pajak tersebut dapat mengajukan prosedur persetujuan bersama (MAP).
Kedua, MAP adalah solusi (remedi) penyelesaian sengketa ‘spesial’ di luar ranah penyelesaian sengketa domestik, seperti keberatan atau banding. MAP dianggap special karena merupakan proses konsultasi dan bukan litigasi. Hal itu juga ditekankan dalam Paragraf 8 dari commentary atas Pasal 25 OECD Model yang berbunyi:
“In any case, the mutual agreement procedure is clearly a special procedure outside the domestic law…”
Ketiga, perlu dicatat bahwa MAP tidak dimaksudkan untuk mencabut hak wajib pajak pada penyelesaian sengketa domestik. Kemudian, keempat, pengajuan MAP diajukan oleh subjek pajak kepada otoritas yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa tersebut di negara tempat subjek pajak tersebut terdaftar sebagai subjek pajak dalam negeri.
Terakhir, pengajuan MAP harus dilakukan dalam kurun waktu tiga tahun sejak pemberitahuan pertama yang menghasilkan sengketa. Pada umumnya, first notification tersebut dapat diartikan sebagai surat ketetapan pajak atau surat pemberitahuan hasil pemeriksaan.
Walau jumlah permohonan MAP terus meningkat di berbagai negara, angka tersebut tidak diimbangi dengan tingkat permohonan MAP yang dapat diselesaikan. Perbandingan antara jumlah permohonan MAP yang belum atau sedang dalam proses penyelesaian tidak sebanding dengan jumlah permohonan MAP yang berhasil diselesaikan.
Untuk mengatasi masalah itu, OECD juga mempertimbangkan perlunya meningkatkan efektivitas penyelesaian sengketa pajak internasional sehingga dapat meningkatkan kepastian dan prediktabilitas bagi dunia usaha. Pasalnya, proses MAP dapat saja menimbulkan ketidakpastian dalam interpretasi dan aplikasi hasil rencana aksi tersebut. OECD pun akhirnya memasukkan upaya meningkatkan efektivitas mekanisme penyelesaian sengketa melalui MAP dan arbitrase sebagai salah satu aksi dalam proyek BEPS (Aksi ke-14).
Data statistik MAP di negara-negara anggota OECD menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dalam proses penyelesaian sengketa pajak internasional melalui MAP (OECD Statistic). Hal ini mengindikasikan adanya keinginan yang kuat dari otoritas pajak di negara-negara anggota OECD untuk menyelesaikan sengketa pajak internasional melalui MAP. Akan tetapi, hal ini tidak berarti MAP tidak memiliki kelemahan. Sebagai contoh, MAP dianggap tidak memberikan kepastian karena tidak mewajibkan otoritas pajak untuk mencapai kesepakatan (Paragraf 37 Commentary Pasal 25 OECD Model).
Sekilas Ketentuan MAP di Indonesia
Di Indonesia, ketentuan MAP yang terbaru diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 49/PMK.03/2019. Wajib pajak dalam negeri dapat mengajukan permintaan pelaksanaan MAP kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai pejabat berwenang Indonesia dalam hal terjadi perlakuan perpajakan oleh otoritas pajak mitra P3B yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B.
Otoritas pajak mitra P3B adalah otoritas perpajakan pada negara mitra atau otoritas perpajakan pada yurisdiksi mitra yang berwenang melaksanaan ketentuan dalam P3B. Atau, otoritas pajak di luar negeri.
Adapun perlakuan perpajakan oleh otoritas pajak mitra P3B yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B di antaranya adalah:
Pada dasarnya, MAP adalah salah satu penyelesaian sengketa pajak. Selain proses keberatan dan banding ke pengadilan pajak, wajib pajak dapat memilih salah satu jalan penyelesaian atau bersama-sama. Dalam hal mengajukan penyelesaian bersama-sama, sebagai contoh, setelah selesai pemeriksaan dan terbit surat ketetapan pajak berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), wajib pajak mengajukan keberatan atas SKPKB sekaligus mengajukan MAP ke kantor pajak.
Menurut ketentuan, dalam hal permintaan pelaksanaan MAP diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan keberatan atau banding, materi yang diajukan permintaan pelaksanaan MAP harus tercakup dalam materi sengketa yang diajukan permohonan dimaksud.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.