MEMAJAKI jenis aktivitas, sektor, atau individu tertentu yang termasuk hard-to-tax sector menjadi tantangan signifikan bagi banyak negara. Pembahasan kebijakan pajak untuk hard-to-tax sector pun kerap mendapat sorotan, meski tidak semasif wajib pajak besar (large taxpayers).
Hard-to-tax sector menjadi sorotan karena dianggap mewakili sebagian besar potensi penerimaan. Selain itu, isu moral pajak, ketidakpatuhan, dan keadilan juga menjadi pendorong dibahasnya kebijakan untuk hard-to-tax sector. Lalu, apa itu hard-to-tax (HTT) sector atau sektor yang sulit dipajaki?
TIDAK terdapat definisi yang pasti dan diterima secara luas mengenai sektor hard-to-tax sector (Alm, et al: 2004). Pasalnya, sektor yang dikategorikan sebagai hard-to-tax dapat berbeda-beda, tergantung pada jenis pajak yang dibahas.
Kendati demikian, terdapat beberapa patokan untuk mendefinisikan hard-to-tax sector . Misalnya, Terkper (2003) mengidentifikasi wajib pajak hard-to-tax sector sebagai wajib pajak yang sering gagal untuk mendaftarkan dirinya sebagai wajib pajak secara sukarela (voluntary registration).
Bahkan, ketika mereka telah mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, mereka cenderung gagal mencatat atau membukukan penghasilan dan biaya secara tepat, tidak segera melaporkan pajak, dan cenderung menunggak pajak (Terkper, 2003).
Selaras dengan itu, Bahl sebagaimana dikutip Alm et al (2004) menyatakan sektor-sektor yang sulit dipajaki ini umumnya mencakup wajib pajak atau sektor-sektor yang sulit dijangkau oleh sistem pelaporan atau penyetoran yang berlaku secara umum.
Sementara itu, Das Gupta (1994) menilai kelompok hard-to-tax sector merupakan sekelompok wajib pajak yang memperoleh penghasilan dari berbagai sumber transaksi yang terpisah satu sama lain sehingga besaran agregat sesungguhnya sulit diketahui.
Terlepas dari definisi atau model yang tepat, terdapat banyak konsensus dalam literatur pajak tentang pihak yang diidentifikasi sebagai hard-to-tax sector.
Musgrave mengidentifikasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), orang-orang dengan profesi tertentu (yang penghasilannya berasal dari berbagai klien), dan petani , sebagai kelompok hard-to-tax sector.
Tanzi dan Janscher (1989) serta Terkper (2003) juga mengidentifikasi perusahaan perseorangan, petani, dan orang dengan profesi tertentu sebagai kelompok hard-to-tax sector. Namun, dewasa ini pengidentifikasian sektor dalam cakupan hard-to-tax sector lebih sering merujuk pada UMKM.
Selain itu, terdapat konsensus hard-to-tax sector tidak terbatas pada apakah wajib pajak terkait merupakan sektor formal atau informal dan melakukan pencatatan atau tidak.
Namun, hard-to-tax sector merujuk pada wajib pajak yang formasi mengenai besaran penghasilan sebenarnya sulit untuk diketahui (Alm, et al, 2004; Tekper, 2003)
Sekelompok wajib pajak juga dapat dikatakan sebagai hard-to-tax sector ketika mereka dengan sengaja atau tidak ada keinginan untuk memberitahu informasi mengenai besaran penghasilan sebenarnya kepada otoritas pajak (Bird dan Oldman, 1990).
Selain itu, kelompok atau individu yang masuk dalam hard-to-tax sector cenderung serupa dengan mereka yang beroperasi dalam shadow economy. Alm et al (2004) membenarkan memang terdapat korelasi antara besaran hard-to-tax sector dengan shadow economy dalam suatu negara.
Schneider dan Enste seperti dikutip Alm et al (2004) mendefinisikan hal yang termasuk shadow economy adalah penghasilan yang tidak dilaporkan ke otoritas pajak dari produksi barang dan jasa legal tetapi seringkali dengan cara sembunyi-sembunyi. Simak “Apa Itu Shadow Economy”.
Adapun pembahasan mengenai hard-to-tax sector juga terdapat dalam salah satu subbab Working Paper DDTC bertajuk Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia dan buku terbitan DDTC bertajuk Konsep dan Aplikasi Pajak Penghasilan yang diterbitkan pada 2020. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.