SALAH satu legal karakter yang melekat pada pajak pertambahan nilai (PPN) adalah sifatnya sebagai pajak objektif. Karakteristik tersebut membuat timbulnya kewajiban pajak di bidang PPN sangat ditentukan oleh adanya objek pajak dan tidak mempertimbangkan kondisi subjektif dari subjek pajak.
Dengan demikian, siapapun yang mengonsumsi barang atau jasa yang termasuk objek PPN akan diperlakukan sama dan wajib membayar PPN. Kewajiban tersebut berlaku tanpa mengkorelasikannya dengan hal lain seperti tingkat penghasilan.
Untuk itu, dalam PPN kedudukan objek pajak sangat diutamakan. Objek pajak PPN sangat beragam yang salah satunya berkaitan dengan penyerahan, ekspor dan impor barang kena pajak (BKP). Lantas, sebenarnya apakah yang dimaksud dengan BKP?
Barang Kena Pajak
MERUJUK Pasal 1 angka 3 UU PPN, barang kena pajak atau BKP adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN. Adapun yang dimaksud barang adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
Barang bergerak merupakan barang yang dalam penggunaannya dapat dipindahkan, misalnya mobil, kapal, sepeda motor, mesin, dan komputer. Sebaliknya, barang tidak bergerak berarti barang yang tidak dapat dipindahkan, seperti tanah dan/atau bangunan.
Sementara itu, barang tidak berwujud adalah barang yang tidak mempunyai wujud fisik. Contohnya seperti, hak atas merek dagang, hak paten, dan hak cipta. Berdasarkan penjabaran ini dapat diketahui jika pada dasarnya semua barang adalah BKP.
Pasalnya, barang hanya memiliki dua dimensi yaitu berwujud dan tidak berwujud yang semuanya termasuk dalam cakupan pengertian BKP. Hal ini juga sesuai dengan sifat PPN sebagai pajak konsumsi yang bersifat netral.
Salah satu bentuk realisasi netralitas itu adalah PPN harus memberikan perlakuan yang sama atas semua barang yang dikonsumsi, baik barang berwujud maupun tidak berwujud. Selain itu, PPN juga harus menjamin jika atas barang yang dikonsumsi akan dikenakan beban pajak yang sama.
Namun, dalam pelaksanaannya perlakuan yang sama terhadap seluruh barang yang dikonsumsi tidak dapat diterapkan sepenuhnya. Hal ini lantaran ada sejumlah barang yang sangat esensial bagi setiap anggota masyarakat dan alasan tertentu lain yang membuat PPN tidak dapat dikenakan.
Dengan demikian, dapat dikatakan jika UU PPN di Indonesia menganut prinsip negative list. Prinsip ini berarti regulasi hanya mengatur jenis barang yang dikecualikan, sementara itu yang tidak termasuk dalam list berarti merupakan BKP.
Barang Tidak Kena Pajak
DENGAN kata lain, semua barang adalah BKP kecuali yang telah dikecualikan. Barang yang telah dikecualikan dari objek PPN inilah yang acap kali disebut dengan barang tidak kena pajak. Adapun berdasarkan Pasal 4A ayat (2) UU PPN terdapat empat jenis barang tidak kena pajak.
Pertama, Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, diantaranya seperti: minyak mentah (crude oil), gas bumi (tidak termasuk gas elpiji yang siap dikonsumsi), panas bumi, asbes, batu tulis, batu setengah permata, marmer dan nitrat.
Selain itu, ada batubara yang belum diproses menjadi briket batubara, bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta barang hasil pertambangan dan pengeboran lainnya yang diambil langsung dari sumbernya.
Kedua, barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak yang kini diatur dalam PMK 99/2020. Beleid yang baru berlaku pada 5 Agustus 2020 ini menambahkan ikan sebagai barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat banyak.
Barang kebutuhan pokok itu meliputi: beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, gula konsumsi, dan ikan. Namun, terdapat kriteria tertentu yang berlaku dan telah tercantum dalam lampiran PMK 99/2020.
Ketiga, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa boga.
Ketentuan ini untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah menjadi objek pajak daerah. Keempat, uang, emas batangan, dan surat-surat berharga. Sebab, PPN merupakan pajak konsumsi, sementara uang, emas batangan, dan surat berharga merupakan barang investasi. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.