Ilustrasi.
MODAL merupakan komponen penting untuk mendirikan atau mengembangkan usaha. Selain dari kantong pribadi, ada beragam akses permodalan yang bisa dimanfaatkan pengusaha. Salah satunya ialah dari pinjaman atau kredit kepada bank.
Merujuk Undang-Undang Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain.
Kesepakatan kredit tersebut mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan disertai bunga. Selain itu, kesepakatan kredit terkadang mensyaratkan adanya barang yang dijadikan sebagai jaminan atau agunan.
Agunan tersebut dimaksudkan untuk meminimalkan risiko kreditur dalam memberikan kredit. Risiko itu seperti kegagalan debitur dalam memenuhi kewajibannya kepada bank. Misal, terjadi tunggakan yang melebihi jangka waktu atau bahkan gagal bayar.
Kondisi tersebut biasa dikenal dengan kredit bermasalah (problem loan) atau non-performing loan (NPL). Umumnya, kredit bermasalah tersebut terdiri atas kredit yang berklasifikasi kurang lancar, diragukan, dan macet.
Salah satu cara yang dapat ditempuh bank atau kreditur untuk menghadapi kredit bermasalah ialah melalui agunan yang diambil alih. Pemerintah pun telah mengatur ketentuan pajak pertambahan nilai (PPN) atas agunan yang diambil alih (AYDA).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah 44/2022 dan Peraturan Menteri Keuangan 41/2023, penyerahan AYDA oleh kreditur kepada pembeli agunan termasuk dalam pengertian penyerahan barang kena pajak (BKP) yang dikenai PPN. Lantas, apa itu AYDA?
Kendati menegaskan ketentuan PPN atas penyerahan AYDA kepada pembeli, PP 44/2022 dan PMK 41/2023 tidak menerangkan pengertian AYDA. Namun, pengertian AYDA dapat mengacu pada Peraturan Bank Indonesia No. 14/15/PBI/2012.
Merujuk peraturan tersebut, AYDA adalah:
“aset yang diperoleh bank baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank.”
Ringkasnya, AYDA adalah suatu aset yang diperoleh bank, baik melalui lelang maupun di luar lelang dari pemilik agunan, karena pemilik agunan/debitur lalai memenuhi kewajibannya. Dari pengertian tersebut, proses pengalihan agunan dapat dilakukan melalui 2 cara.
Pertama, mekanisme lelang. Cara ini berarti bank menjadi pembeli agunan debiturnya. Dalam konteks ini, bank memiliki status yang sama dengan pembeli bukan bank lainnya. Kedua, mekanisme penjualan di bawah tangan dengan persetujuan dari pemilik agunan.
Kendati diperkenankan membeli agunan debitur, bank tidak diperbolehkan memiliki agunan yang dibelinya. Bank diharuskan menjual kembali agunan tersebut secepatnya agar hasil penjualan agunan dapat segera dimanfaatkan oleh bank.
Nah, penjualan atau penyerahan agunan atau barang yang telah diambil alih oleh bank/kreditur kepada pembeli inilah yang diatur PMK 41/2023. Atas penyerahan itu, kreditur harus memungut PPN dengan besaran tertentu, yaitu 10% dari tarif PPN umum dikalikan dengan harga jual agunan.
Misal, Bank A memberikan kredit kepada Tuan Nano dengan agunan berupa tanah dan bangunan seluas 150 meter persegi dan dibebani hak tanggungan. Tuan Nano dinyatakan wanprestasi (tidak memenuhi kewajibannya) oleh Bank A.
Pada 1 Juli 2023, agunan berhasil dijual kepada Tuan Andrea dan diterima pembayarannya dengan harga jual sebesar Rp1 miliar. Atas penyerahan ini, Bank A wajib memungut PPN atas penjualan agunan kepada Tuan Andrea sebesar 10%x11%xRp1 miliar = Rp11 juta. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.