DI Indonesia reformasi perpajakan terus berkembang karena masih banyaknya celah yang masih harus diperbaiki. Reformasi perpajakan kali ini sudah memasuki tahun kedua dengan target penyelesaian yang dipercepat, yang semula tahun 2024 menjadi tahun 2020.
Reformasii perpajakan itu diperlukan karena kepatuhan perpajakan di Indonesia yang masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Indonesia hanya mempunyai tax ratio 10.7% (2017) dan terus menurun dari posisi 2008 yang mencapai 17.83%.
Rendahnya kepatuhan perpajakan ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang menganggap pajak sebagai suatu hal yang menakutkan, yaitu para wajib pajak harus membayar sejumlah nominal uang yang dapat terbilang cukup besar yang kemudian akan digunakan untuk kepentingan negara.
Masyarakat Indonesia kerapkali dikecewakan oleh pemerintah karena kontribusi wajib pajak dalam bidang perpajakan tidak diolah sedemikian rupa sehingga perolehan manfaat atas pembayaran pajak tersebut tidak sebanding dengan pengeluaran yang diberikan.
Misalnya seperti pelayanan dalam bidang perpajakan yang tidak memuaskan dan infrastruktur yang kunjung tidak diperbaiki. Mestinya, uang dari kontribusi perpajakan yang sudah disetorkan setiap wajib pajak, akan sangat membantu negara untuk menambah fasilitas kepada warganya.
Untuk meningkatkan kepatuhan ini, pemerintah sudah berupaya memperbaharui aspek perpajakan. Inilah yang disebut reformasi perpajakan. Ada 5 pilar yang mendasari reformasi perpajakan ini, yaitu organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, dan peraturan.
Dengan lima pilar tersebut, reformasi perpajakan kali ini lebih komprehensif dibandingkan dengan reformasi yang lalu. Sebelumnya, reformasi perpajakan hanya dari satu sisi saja. Misalnya pada 1983 reformasi peraturan, dan pada 2002 reformasi organisasi.
Reformasi Pajak Pascapemilu
Calon presiden (capres) nomor urut 01 Joko Widodo menyampaikan dalam visinya untuk melanjutkan reformasi perpajakan yang berkelanjutan untuk mewujudkan keadilan dan kemandirian ekonomi nasional, dengan target terukur, serta memperhatikan iklim usaha dan peningkatan daya saing.
Dapat dilihat bahwa ia fokus melanjutkan program kerja dan kebijakan yang telah dilakukan. Hal ini wajar mengingat Joko Widodo merupakan calon presiden pertahana. Komitmen ini positif dan menunjukan bahwa ia tetap konsisten dalam melaksanakan program kerjanya.
Adapun kebijakan reformasi fiskal dan reformasi perpajakan yang telah dilaksanakan pada masa sebelumnya terbukti dapat memberikan hasil yang positif bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia dan peningkatan perekonomian Indonesia.
Karena itu, dapat dilihat untuk ke depannya bahwa capres nomor urut 1 ini akan terus memberikan insentif fiskal untuk dunia usaha dengan tujuan semakin meningkatkan perekonomian negara. Namun, memang hal itu belum cukup memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia.
Sementara itu, pasangan capres nomor urut 2, yakni Prabowo Subianto menawarkan gebrakan dan reformasi yang terbilang signifikan, yaitu menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Orang Pribadi, dan menghapus Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama.
Hal ini tentu merupakan sebuah reformasi dalam sektor perpajakan yang sangat berbeda dengan reformasi perpajakan yang dijalankan oleh pemerintahan sebelumnya yang cenderung lebih memberikan insentif perpajakan.
Baik itu peningkatan batas PTKP, penurunan tarif PPh Pasal 21 Orang Pribadi, dan penghapusan PBB bagi rumah tinggal utama dan pertama tentu sama-sama akan meringankan beban yang ditanggung masyarakat secara langsung dan akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Namun jika ditelaah lebih dalam lagi, capres Prabowo Subianto haruslah berpikir matang-matang lagi sebelum menerapkan kebijakan tersebut karena tentu saja kebijakan tersebut akan secara otomatis juga akan mengurangi pemasukan pajak yang diterima oleh negara.
Untuk menyikapi dampak jangka panjang yang mungkin terjadi dari penerapan kebijakan tersebut, capres nomor urut 02 dapat memanfaatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) agar dapat menggantikan pemasukan negara dari sektor pajak yang berkurang tadi.
Program kerja masing-masing capres sangat berbeda satu sama lain. Capres Joko Widodo fokus melanjutkan kebijakan reformasi perpajakan. Sementara capres Prabowo Subianto fokus menerapkan reformasi perpajakan yang baru dan sangat berbeda dari sebelumnya.
Baik program dari Joko Widodo maupun Prabowo Subianto sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kedua pasangan calon tentu akan membuat kebijakan untuk dapat meningkatkan rasio pembayaran pajak di Indonesia yang masih tergolong rendah.
Capres yang terpilih kelak juga harus membuat program yang menyentuh perkembangan era digital. Pemilih juga perlu membuka mata mengenai fenomena yang terjadi saat ini yang akan berdampak pada masa depan negara dan bagaimana dampak tersebut memengaruhi aspek perpajakan.
Karena itu, masyarakat Indonesia perlu mempertimbangkan program-program perpajakan yang terbaik dari kedua capres demi keberlangsungan bangsa Indonesia sehingga perpajakan menjadi aspek yang penting di negara ini.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.