Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak orang pribadi UMKM perlu menyampaikan surat pernyataan yang menunjukkan bahwa omzet usahanya tidak melebihi Rp500 juta kepada pemotong/pemungut pajak. Tujuannya, agar pelaku UMKM yang omzetnya belum tembus Rp500 juta itu tidak kena PPh final dengan tarif 0,5%.
Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (13/3/2024). Seperti diketahui, pelaku UMKM berpotensi kena PPh final 0,5% ketika bertransaksi dengan pemotong/pemungut pajak meski omzetnya belum melebihi Rp500 juta.
"Wajib pajak orang pribadi ... harus menyampaikan surat pernyataan sebagai pengganti surat keterangan ... yang menyatakan peredaran bruto…wajib pajak pada saat dipotong/dipungut PPh tidak melebihi Rp500 juta," bunyi Pasal 8 ayat (4) PMK 164/2023.
Wajib pajak orang pribadi UMKM perlu menyusun surat pernyataan yang berisi informasi bahwa omzetnya belum melebihi Rp500 juta sesuai dengan format yang terlampir dalam PMK 164/2023.
Surat pernyataan dibuat sendiri oleh wajib pajak orang pribadi dengan mencantumkan nama, NPWP/NIK, serta alamat. Bila wajib pajak menggunakan wakil/kuasa, surat pernyataan harus mencantumkan nama, NPWP/NIK, dan alamat wakil/kuasa tersebut.
Selain soal surat pernyataan bagi pelaku UMKM, ada pula ulasan terkait dengan penghitungan tarif efektif rata-rata (TER) bagi karyawan yang mendapatkan tunjangan hari raya (THR) Lebaran, dokumen yang perlu dilampirkan dalam pelaporan SPT Tahunan, hingga update mengenai implementasi kenaikan PPN 12%.
Masih menyambung bahasan soal surat pernyataan bagi pelaku UMKM di atas, hal berbeda berlaku bagi wajib pajak orang pribadi UMKM yang omzetnya sudah melebihi Rp500 juta.
Bagi kelompok tersebut, wajib pajak orang pribadi UMKM perlu menunjukkan salinan surat keterangan (suket) ketika melakukan transaksi penjualan barang atau penyerahan jasa kepada pemotong/pemungut pajak.
Dengan menunjukkan suket, wajib pajak akan dikenai pemotongan/pemungutan PPh final sebesar 0,5%, bukan pemotongan PPh Pasal 21 ataupun PPh Pasal 22 dengan tarif normal. (DDTCNews)
Siap-siap, pegawai tetap yang menerima THR Lebaran bakal dikenal PPh pasal 21 dengan tarif efektif bulanan yang lebih besar bila dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.
Mengapa TER-nya lebih tinggi?
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 168/2023, besaran PPh Pasal 21 dihitung dengan mengalikan tarif efektif bulanan PP 58/2023 dengan jumlah penghasilan bruto yang diterima pegawai tetap dalam 1 masa pajak.
Merujuk pada Pasal 5 ayat (1) huruf a PMK 168/2023, penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap baik yang bersifat teratur ataupun yang tidak teratur.
Dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (3) PMK 168/2023, penghasilan teratur dan tidak teratur bagi pegawai tetap antara lain juga mencakup gaji, tunjangan dalam bentuk apapun, uang lembur, bonus, hingga THR. (DDTCNews)
Ada sejumlah dokumen yang perlu dilampirkan oleh wajib pajak orang pribadi sata melaporkan SPT Tahunan. Bila dokumen yang dipersyaratkan tidak dilampirkan, SPT Tahunan yang disampaikan oleh wajib pajak orang pribadi bisa dinyatakan sebagai SPT yang tidak lengkap.
Dokumennya bisa berbeda-beda tergantung kondisi wajib pajak. Hal ini merujuk pada Peraturan Dirjen Pajak PER-02/PJ/2019. Misalnya, wajib pajak orang pribadi yang melakukan pembukuan perlu melampirkan neraca dan laporan laba rugi.
Wajib pajak orang pribadi yang membayar PPh menggunakan skema PPh final UMKM misalnya, harus melampirkan penghitungan omzet dan pembayaran PPh final UMKM. Atau, jika wajib pajak turut memperhitungkan zakat atau sumbangan keagamaan untuk menentukan nilai PPh terutang, harus melampirkan bukti pemotongan zakat atau sumbangan ke dalam SPT Tahunan. (DDTCNews)
Pembuatan kode billing terkait dengan PPh final UMKM dengan kode akun pajak (KAP) 411128 dan kode jenis setoran (KJS) 423 menggunakan NPWP pihak pemotong atau pemungut pajak.
Adapun KAP/KJS 411128-423 untuk pembayaran PPh final atas penghasilan dari usaha yang diterima/diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu (UMKM) yang dipotong/dipungut oleh pemotong/pemungut pajak.
“Pembuatan billing dengan KAP/KJS 411128-423 sudah tidak bisa lagi input NPWP lain,” tulis contact center Ditjen Pajak (DJP). (DDTCNews)
Kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% sebenarnya sudah dirancang Presiden Joko Widodo (Jokowi) jauh-jauh hari, yakni melalui UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Berdasarkan ketentuan tersebut, kenaikan tarif PPN menjadi 12% berlaku selambat-lambatnya pada 1 Januari 2025.
Sebagai catatan, perubahan tarif PPN diatur dengan peraturan pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Bukan tanpa sebab, Kementerian Keuangan mencatat tarif PPN 10% belum pernah berubah sejak pertama kali sistem PPN diperkenalkan di Indonesia pada 1984. (Bisnis Indonesia)
(sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.