DI tengah polemik mengenai rencana pengenaan PPN atas barang kebutuhan pokok, terselip isu ketidakberpihakan pemerintah bagi kelompok berpenghasilan rendah. Rencana tersebut juga dianggap berpotensi mencederai pilar keadilan sosial.
Pertanyaannya, apakah isu tersebut tepat?
Dalam menjawab isu tersebut, penulis akan menguraikan melalui pendekatan regresivitas-progresivitas dari PPN dan bagaimana kaitannya dengan desain perlakuan PPN atas barang kebutuhan pokok.
Progresif versus Regresif
AGUSTUS 2018, dalam salah satu sesi kelas Comparative Tax Policy di Harvard Kennedy School, Prof. Glenn Jenkins mengajukan sebuah pertanyaan. Benarkah sistem PPN bersifat regresif? Pertanyaan tersebut tentu mengusik dan memprovokasi. Pasalnya, selama ini terdapat pemahaman universal tentang PPN sebagai pajak regresif.
Tidak berhenti di situ. Jenkins berargumen pada praktiknya – khususnya di negara berkembang –, PPN bersifat progresif. Lantas, bagaimana kita memaknai hal tersebut?
Perdebatan mengenai progresivitas dan regresivitas sistem pajak pada hakikatnya tidak bisa dilepaskan dari fungsi redistribusi (Musgrave, 1959). Secara filosofis, tujuan meredistribusi kemudian disematkan dalam diskusi mengenai keadilan sosial.
Dalam konsep pajak, ide tersebut ditranslasikan pada adagium pihak yang lebih kaya harus membayar pajak lebih besar. Pajak penghasilan (PPh) adalah pajak yang secara konsep berupaya mencapai kondisi tersebut dengan melihat prinsip daya pikul (ability to pay).
Berbeda dengan PPh, PPN adalah pajak konsumsi. Artinya, pajak dikenakan atas objeknya (barang atau jasa yang dikonsumsi) dan bukan subjeknya (siapa yang mengkonsumsi).
Di sinilah permasalahannya timbul. PPN ‘menutup mata’ mengenai kondisi pihak yang melakukan konsumsi. Artinya, beban pajak yang sama akan diterima konsumen dengan latar belakang kelompok penghasilan apapun. Baik kaya atau miskin, sejahtera atau prasejahtera, berpenghasilan tinggi atau rendah.
Sebagai ilustrasi, diasumsikan barang kebutuhan pokok sebesar Rp1 juta dikenakan PPN dengan tarif umum sebesar 10%. Barang kebutuhan pokok tersebut dikonsumsi individu X dan Y sehingga keduanya memiliki beban pajak yang sama, yaitu Rp100 ribu.
Individu X dan Y ternyata memiliki penghasilan yang berbeda. X berpenghasilan senilai Rp2 juta/bulan dan Y senilai Rp10 juta/bulan. Dengan demikian, proporsi beban PPN terhadap penghasilan X adalah 5% (Rp100.000: Rp2 juta) dan Y sebesar 1% (Rp100.000: Rp10 juta). Ilustrasi ini menunjukkan regresivitas PPN, yakni individu memiliki penghasilan lebih rendah justru menerima bobot beban pajak yang lebih tinggi.
Dengan sifatnya yang regresif, desain kebijakan PPN kerap menimbulkan pro dan kontra, terutama ketika aspek keadilan sosial diramu dengan pragmatisme politik (Feria dan Krever, 2013). Namun, bagaimana jika PPN justru tidak bersifat regresif?
Faktanya?
SEPERTI halnya dengan Jenkins, beberapa akademisi juga cenderung menolak ide PPN sebagai pajak yang bersifat regresif. Argumen yang paling kuat dan relevan berangkat dari fakta konsumsi barang dan jasa dapat dilakukan di sektor informal. Kenyataan mengenai tingginya shadow economy, khususnya di negara berkembang, pada dasarnya turut mempengaruhi bentuk regresivitas-progresivitas PPN.
Di negara berkembang, otoritas pajak sulit memetakan seluruh transaksi ekonomi. Padahal, terdapat kecenderungan perilaku kelompok masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengkonsumsi barang dan jasa dari sektor informal (Acosta-Margain, 2013).
Adanya kesulitan memungut PPN dari sektor informal menyebabkan minimnya beban PPN yang secara efektif dibayar kelompok berpenghasilan rendah. Kontribusi PPN justru lebih besar dari kelompok berpenghasilan menengah-tinggi yang proporsi konsumsinya relatif besar pada sektor formal. Simpulannya, jika suatu negara memiliki persoalan serius mengenai shadow economy, PPN sesungguhnya akan bersifat progresif.
Selain persoalan sektor informal, terdapat argumen lainnya yang menunjukkan sifat PPN progresif. Misalkan Brederode (2007) dan Capresen dan Metcalf (1994) yang menyatakan kelompok kaya memiliki pola konsumsi yang lebih stabil bahkan pada saat hari tua atau ketika sudah pensiun. Dengan demikian, beban PPN dari kegiatan konsumsi seumur hidup (lifetime consumption) kelompok kaya relatif lebih besar dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Desain PPN
SISTEM pajak sering dianggap lebih adil jika mampu berpihak (melindungi) kepentingan kelompok berpenghasilan rendah. Sayangnya, hingga kini tidak ada kesepakatan di antara akademisi mengenai resep menciptakan sistem PPN yang pro terhadap kelompok ini.
Dalam skenario ideal, keberpihakan pemerintah umumnya ditunjukkan melalui perlakuan khusus atas barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok bagi kelompok berpenghasilan rendah. Perlakuan khusus tersebut mencakup pengecualian atau pembebasan, tarif lebih rendah (reduced rate), serta tarif 0%.
Opsi kebijakan yang terbaik masih jadi perdebatan. Sebagai contoh, Ahmad dan Stern (1991) menyatakan bahwa sistem PPN yang pro-masyarakat miskin bisa dicapai melalu skema multitarif atau skema tarif tunggal dengan pengecualian atau pembebasan. Sementara menurut Tait (1998) dan Chambas (2005), skenario 0% akan memiliki tingkat kerumitan dan distorsi yang paling minim dibandingkan dengan opsi kebijakan lainnya.
Lantas, mana yang lebih tepat? Bagaimana kita perlu melihatnya dalam hal perlakuan atas PPN barang kebutuhan pokok?
Untuk menjawab hal ini, kita perlu mempertimbangkan adanya de facto exemption, yaitu suatu kondisi yang secara faktual menyebabkan tidak terjadinya pemungutan PPN. Faktor utamanya ialah sektor informal (shadow economy), termasuk penyerahan barang dan jasa di pasar yang tidak ada mekanisme PPN.
Dalam ranah perumusan kebijakan PPN di negara berkembang, de facto exemption kerap dikesampingkan. Padahal, size sektor ekonomi informal turut menentukan sejauh mana regresivitas (progresivitas) sistem PPN.
Perumus kebijakan – dipengaruhi pragmatisme politik – sering terburu-buru memberikan berbagai perlakuan khusus bagi barang kebutuhan pokok. Mulai dari pengecualian, pembebasan, tarif 0%, maupun reduced rate. Alhasil, sistem PPN kian kompleks, tidak netral, dan tidak jelas keberpihakannya.
Perlakuan khusus tersebut membuat subsidi melalui sistem pajak – atau tax expenditure – kian menggelembung. Sayangnya, tax expenditure tersebut bisa jadi justru ‘bocor’ dan tidak tepat sasaran karena dinikmati kelompok penghasilan menengah ke atas (Keen, 2013). Hal ini dikarenakan eksistensi de facto exemption.
Penelitian yang dilakukan Bachas, Gadenne, dan Jensen (2020) memperkuat hal tersebut. Ada dua aspek yang berpengaruh dalam desain PPN barang kebutuhan pokok secara tepat. Pertama, informality Engel curve yang menurun. Artinya, seiring dengan meningkatnya penghasilan maka proporsi konsumsi dari sektor informal kian menurun. Kedua, size dari sektor informal.
Dari analisis yang dilakukan di 31 negara berkembang, mereka memperlihatkan kebijakan berupa 0%, pengecualian, atau pembebasan justru akan membuat sifat regresif PPN relatif kian kuat dan kian tidak adil. Pasalnya, fasilitas yang awalnya ditujukan bagi kelompok berpenghasilan rendah justru akan berpindah bagi kelompok menengah ke atas.
Fasilitas yang melekat pada barang kebutuhan pokok yang tersedia di pasar formal – misalnya supermarket, toko modern, dan sebagainya—justru tidak diterima kelompok berpenghasilan rendah. Lagi-lagi, karena mereka cenderung melakukan konsumsi barang kebutuhan pokok yang dibeli dari sektor informal yang tidak ada mekanisme PPN.
Oleh sebab itu, skenario terbaik—di tengah tingginya shadow economy—adalah dengan pengenaan tarif standar yang berlaku umum bagi barang kebutuhan pokok.
Studi yang dilakukan Jenkins dan Shahee (2014) di Bolivia, Republik Dominika, dan Belize juga bisa jadi rujukan. Skenario PPN barang kebutuhan pokok tanpa perlakuan khusus ternyata justru menciptakan sistem yang lebih adil dan progresif.
Penutup
DESAIN perlakuan PPN atas barang kebutuhan pokok perlu melihat kondisi aktual dan data mengenai pola konsumsi masyarakat di segala kelompok penghasilan.
Adanya shadow economy dapat menyebabkan manfaat dari pengecualian PPN atas barang kebutuhan pokok justru dinikmati kelompok berpenghasilan menengah-tinggi. Dalam situasi tersebut, tujuan untuk melindungi kepentingan kelompok berpenghasilan rendah—melalui pengecualian PPN—belum tentu tercapai.
Sistem PPN kian jauh dari kata progresif dan adil. Keberpihakan bagi kelompok prasejahtera menjadi ‘kabur’. Oleh karena itu, perlakuan PPN yang setara bagi barang kebutuhan pokok justru jadi solusi terbaik.
Ada dua hal lanjutan yang harus dipertimbangkan dalam skenario kebijakan fiskal. Pertama, upaya mewujudkan sistem pajak yang adil sejatinya tidak hanya semata-mata ditentukan kebijakan PPN. Pos lainnya seperti PPh—yang secara alami bersifat progresif—ataupun pajak lain yang berorientasi bagi kontribusi orang kaya hendaknya turut direformasi (de Mooij, et al., 2020)
Kedua, keberpihakan bagi kelompok berpenghasilan rendah perlu diwujudkan dalam program redistribusi yang lebih kuat, transparan, dan tepat sasaran (OECD, 2014). Melalui hal ini, akan tercapai fiscal incidence yang lebih adil dan merata.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Izin bertanya pak, kutipan bapak yang: “Dari analisis yang dilakukan di 31 negara berkembang, mereka memperlihatkan kebijakan berupa 0%, pengecualian, atau pembebasan justru akan membuat sifat regresif PPN relatif kian kuat dan kian tidak adil. Pasalnya, fasilitas yang awalnya ditujukan bagi kelompok berpenghasilan rendah justru akan berpindah bagi kelompok menengah ke atas.” – masih mengacu kepada penelitian Bachas, Gadenne, dan Jensen (2020) ? Menurut kesimpulan yang mereka tulis adalah sebagai berikut: “This enables us to characterize the Informality Engel Curves: we find that informal bud get shares decrease with household income in every country. This implies that the de facto exemption of the informal sector is progressive.” Hal ini menunjukkan bahwa de facto exemption justru bersifat progressive. Seiring meningkatnya pendapatan seseorang, mereka cenderung belanja di sector formal yang justru terkena PPN. Hal ini justru membantah teori pertama dari Keen (2013).
Izin bertanya pak, kutipan bapak yang: “Dari analisis yang dilakukan di 31 negara berkembang, mereka memperlihatkan kebijakan berupa 0%, pengecualian, atau pembebasan justru akan membuat sifat regresif PPN relatif kian kuat dan kian tidak adil. Pasalnya, fasilitas yang awalnya ditujukan bagi kelompok berpenghasilan rendah justru akan berpindah bagi kelompok menengah ke atas.” – masih mengacu kepada penelitian Bachas, Gadenne, dan Jensen (2020) ? Menurut kesimpulan yang mereka tulis adalah sebagai berikut: “This enables us to characterize the Informality Engel Curves: we find that informal bud get shares decrease with household income in every country. This implies that the de facto exemption of the informal sector is progressive.” Hal ini menunjukkan bahwa de facto exemption justru bersifat progressive. Seiring meningkatnya pendapatan seseorang, mereka cenderung belanja di sector formal yang justru terkena PPN. Hal ini justru membantah teori pertama dari Keen (2013).
PENGUSAHA: Tarif PPN naik? yah naikin aja harga barang kita, gitu aja kok dipermasaahkan. cuma naik 2%? naikin aja harga 5%, toh masih untung kita. tetep aja mereka akan membeli, ibarat pesawat Lion air yg uda hilang , jatuh kecelakaan, toh tetep aja yang mudik banyak pake Lion Air walau harga tiket dinaikin. salahin aja mereka yang konsumsi.