Ilustrasi. Perajin menjemur batik yang dibuat di sentra pembuatan batik Anggun, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Selasa (7/7/2020). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/foc.
JAKARTA, DDTCNews – World Bank mengusulkan adanya penurunan ambang batas pengenaan pajak penghasilan (PPh) final UMKM dan pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP) dari yang saat ini sebesar Rp4,8 miliar menjadi Rp600 juta.
Usulan ini tertuang dalam dokumen “Indonesia Economic Prospects” yang dipublikasikan World Bank hari ini, Kamis (16/7/2020). Penurunan diperlukan untuk meningkatkan jumlah usaha yang berkontribusi dalam pembayaran pajak. Apalagi, ada penurunan tarif PPh badan mulai tahun ini.
“Langkah yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi rendahnya penerimaan pajak sudah dilakukan, tetapi masih belum cukup untuk meningkatkan tax ratio," tulis World Bank dalam laporan tersebut.
Menurut World Bank, PPh final dengan tarif sebesar 0,5% yang dikenakan pada usaha dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar masih terlalu tinggi. Hal ini menyebabkan banyak usaha-usaha yang memiliki keuntungan sangat tinggi tidak bisa dikenai PPh badan yang notabene berbasis pada penghasilan.
Tarif serta kewajiban pelaporan PPh final UMKM yang sangat rendah dibandingkan PPh badan ini menjadi disinsentif bagi dunia usaha untuk tumbuh lebih besar. Hal ini juga mendorong pelaku usaha untuk memecah usahanya menjadi usaha-usaha kecil untuk bisa menikmati tarif PPh final.
“Mengembalikan ambang batas PPh final UMKM ke Rp600 juta akan mengurangi dampak buruk dari insentif ini serta akan meningkatkan transparansi," tulis World Bank.
Kemudian, tingginya ambang batas PKP dinilai menyebabkan basis pajak pertambahan nilai (PPN) di Indonesia menjadi sangat rendah. Indonesia sendiri sudah tercatat sebagai negara dengan ambang batas PKP terhadap pendapatan per kapita tertinggi di dunia.
Akibat terlalu tingginya ambang batas PKP serta banyaknya barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN, World Bank mencatat PPN yang dikumpulkan oleh Indonesia baru 60% dari potensi aslinya. Simak artikel ‘Pemerintah Bakal Atur Ulang Fasilitas PPN dan Batasan PKP’.
“Ambang batas PKP yang lebih rendah akan memperbaiki sistem PPN, kepatuhan pajak, serta akan meningkatkan peranan PPN untuk memobilisasi penerimaan pajak," imbuh World Bank.
Selain dua masalah tersebut, World Bank juga menyorot perlakuan perpajakan spesial oleh pemerintah bagi sektor konstruksi dan properti. Menurut World Bank, skema PPh final yang selama ini dinikmati oleh sektor tersebut harus dihapus.
Merujuk pada UU PPh, penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah serta bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah bangunan dapat dikenai pajak secara final.
Perlakuan yang spesial ini menyebabkan penerimaan pajak dari sektor tersebut cenderung rendah. World Bank juga menuliskan kepatuhan pajak sektor properti merupakan yang paling rendah dibandingkan sektor-sektor lainnya.
Menurut World Bank, sektor konstruksi dan properti perlu dikenai PPh badan sebagaimana sektor-sektor lainnya untuk menciptakan keadilan antarsektor ekonomi serta meningkatkan transparansi perpajakan. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
hati hati dengan advise world bank yang seolah olah membantu ide perbaikan untuk ekonomi Indonesia. Ujung ujungnya malah mempwrkeruh suasana dan kekacauan ekonomi
Usulan yang baik dalam rangka meningkatkan tax ratio Indonesia. Namun, alangkah lebih baik jika sebelum benar-benar diimplementasikan usulan world bank terkait pajak di Indonesia didahului dengan serangkaian program edukasi perpajakan. Selain itu, menjadi penting saat ini untuk membangun ekonomi baik industri maupun perdagangan dan jasa sebelum menarik pajak dari masyarakat. Pada titik ini tentu kesadaran pajak para pelaku usaha menjadi bahan bakar utama dalam memperbaiki kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. #MariBicara
Menurut pendapat saya, saran dari World Bank kurang bersahabat dengan iklim bisnis yang terjadi di Indonesia, dimana dengan semakin ditekannya pebisnis dengan menurunkan batas PKP akan berdampak pada kenyamanan psikologis dari pebisnis tersebut, apalagi dengan minimnya pendidikan pajak di masyarakat ataupun pebisnis yang berdampak pula terhadap kesadaran wajib pajak di Indonesia. Kondisi di lapangan, sebagian besar petugas pajak masih menggunakan pendekatan berdasarkan aturan yang cenderung membuat takut wajib pajak itu sendiri, seharusnya dibangun sistem yang baik terlebih dahulu mengenai sistem edukasi perpajakan yang ada di Indonesia sebelum melakukan pendekatan yang subversif. Sehingga masyarakat Indonesia yang mempunyai usaha ataupun tidak mampu memahami dan mengerti fungsi dan tujuan pajak itu sendiri. Terima Kasih