Manager of DDTC Fiscal Research Denny Vissaro dan Peneliti CHED ITB Ahmad Dahlan Adi Musharianto dalam diskusi online bertajuk Praktik Penjualan Rokok di Bawah Harga Jual Eceran 85% dan Kaitannya dengan Tujuan Cukai untuk Pengendalian Konsumsi dan Pencapaian RPJMN, Jumat (23/4/2021).
JAKARTA, DDTCNews – Penetapan harga transaksi pasar (HTP) rokok yang diperbolehkan hanya 85% dari harga jual eceran (HJE) tidak akan efektif menekan konsumsi.
Manager of DDTC Fiscal Research Denny Vissaro mengatakan kebijakan yang tertuang dalam PMK 146/2017 tersebut memungkinkan pabrikan rokok golongan atas bersaing secara langsung dengan golongan di bawahnya. Di sisi lain, pabrikan juga bisa menetapkan HTP di bawah 85% ketentuan HJE karena Peraturan Dirjen Bea dan Cukai 37/2017 memperbolehkannya.
"Dengan HTP dibolehkan di bawah 85%, level of playing field-nya menjadi bias. Akhirnya yang [golongan] di bawah menggunakan ketentuan HTP tersebut juga," katanya dalam diskusi online bertajuk Praktik Penjualan Rokok di Bawah Harga Jual Eceran 85% dan Kaitannya dengan Tujuan Cukai untuk Pengendalian Konsumsi dan Pencapaian RPJMN, Jumat (23/4/2021).
Denny mengatakan ketentuan mengenai HTP yang saat ini berlaku cenderung menimbulkan perang harga yang tidak berimbang antara pabrikan rokok besar dan kecil. Pada situasi tersebut, pabrikan kecil atau golongan sigaret kretek tangan yang akan mengalami tekanan paling berat.
Denny menilai pemerintah perlu mengatur agar HTP rokok mencapai 100% dari HJE secara bertahap agar tidak langsung berdampak pada penerimaan negara dan memicu lonjakan produksi rokok ilegal. Jika kebijakan itu berjalan beriringan dengan kenaikan tarif cukai secara rutin setiap tahun, lanjutnya, tujuan pengendalian produk tembakau akan tercapai.
"Dengan menghilangkan ketentuan yang membolehkan rasio HTP/HJE, ini juga memberi keringanan kepada petugas Bea Cukai karena memudahkan pengawasan, mengendalikan konsumsi, dan memberi keadilan bagi industri," ujarnya.
Peneliti CHED ITB Ahmad Dahlan Adi Musharianto menyebut Indonesia sebagai konsumen rokok terbesar di Asia karena tarif cukai yang sangat murah. Meski tarif cukai dan HJE tergolong masih rendah, banyak pabrikan yang memanfaatkan celah untuk menetapkan HTP di bawah 85% HJE.
Jika pabrikan menetapkan HTP di bawah 85% dari HJE, menurut hitungannya, kenaikan harga rokok hanya akan sebesar 29%, bukan 52% seperti yang diperkirakan pemerintah. Kenaikan harga rokok yang lebih kecil dari semestinya tersebut justru akan menjadi insentif bagi produsen dan konsumen rokok.
Adi menjelaskan CHED telah mengadakan survei mengenai harga eceran rokok pada 2020 di 3 kota, yakni Lamongan, Enrekang, dan Nunukan. Dari survei tersebut, 55% rokok menetapkan HTP di bawah 85% dari HJE. Kebanyakan adalah golongan sigaret putih mesin.
Berdasarkan pada data survei itu pula, kenaikan rata-rata HJE menjadi hanya 28%, sehingga perokok memperoleh insentif atau diskon lebih besar, yakni 19% dari HTP yang semestinya. Adi menyarankan pemerintah untuk mengkaji ulang ketentuan yang membolehkan penetapan HTP rokok hanya 85% dari HJE sekaligus menggencarkan pengawasannya.
"Harus dilakukan kebijakan pendukung, seperti menindak pabrik rokok yang menetapkan harga di bawah 85% dan harus ada sanksi," katanya.
Di sisi lain, dia juga meminta pemerintah memperketat pembelian rokok agar sulit diakses anak-anak dan remaja. Misalnya, beberapa menteri mengatur pembelian rokok dengan kualifikasi usia tertentu, seperti yang saat ini berlaku pada minuman beralkohol. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
setuju, bahwa kebijakan ini perlu di kaji ulang. kebijakan ini memungkinkan harga jual rokok 85% di bawah banderol pita cukai atau Harga Jual Eceran (HJE) yang telah ditetapkan pemerintah. kebijakan ini kiranya kontradiksi dengan niatan pemerintah yang ingin menurunkan prevalansi rokok. Tidak sesuainya HTP dengan HJE justru akan menyebabkan harga rokok tetap terjangkau, sehingga pengendalian konsumsi tidak optimal untuk menurunkan prevalensi merokok.
Indonesia sebagai konsumen rokok terbesar di Asia yang salah satu alasannya adalah tarif cukai yang sangat murah. Hal ini akan membuat dampak buruk apalagi mudahnya akses untuk mendapat rokok bagi anak kecil dan remaja. Anak-anak dapat dengan mudah membeli rokok seperti mereka membeli permen. Padahal, dampak kesehatan dari rokok bukanlah hal yg patut diremehkan. Ini Fenomena menyedihkan yang terjadi di masyarakay Indonesia. Kebijakan negara menjadi salah satu cara sebagai tameng utama menyelesaikan permasalahan ini. Penekanan produksi, konsumsi dan sosialisasi dampak kesehatan perlu menjadi budaya.