KEUANGAN NEGARA

Kata Sri Mulyani, Indonesia Langsung Dapat Warisan Utang Saat Merdeka

Dian Kurniati | Senin, 12 Oktober 2020 | 10:27 WIB
Kata Sri Mulyani, Indonesia Langsung Dapat Warisan Utang Saat Merdeka

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pembukaan Ekspo Profesi Keuangan secara virtual, Senin (12/10/2020). (tangkapan layar Youtube Pusat Pembinaan Profesi Keuangan Kemenkeu)

JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap perjalanan panjang pemerintah Indonesia dalam membangun neraca keuangan negara yang sehat. Awalnya, ada warisan utang dari masa penjajahan Belanda US$1,13 miliar atau setara Rp19,14 triliun dengan kurs saat ini.

Sri Mulyani mengatakan catatan itu menunjukkan Belanda tidak hanya mewariskan perekonomian yang rusak, melainkan juga beban utang kepada Indonesia. Menurutnya, kemerdekaan Indonesia dari penjajahan bukan berarti langsung mengambil alih harta dan kekayaan yang ditinggalkan Belanda.

"Waktu kita memulai pemerintahan untuk menjadi negara Indonesia yang merdeka, secara keuangan tidak dengan balance sheet yang 0," katanya dalam pembukaan Ekspo Profesi Keuangan secara virtual, Senin (12/10/2020).

Baca Juga:
Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Sri Mulyani mengatakan beban warisan utang itu berasal dari harta kekayaan yang rusak akibat perang serta seluruh investasi sebelumnya yang dibekukan oleh pemerintah Belanda. Dengan demikian, utangnya menjadi milik Indonesia. Beban utang itu terasa semakin berat karena produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada saat itu masih sangat kecil.

Masa awal pemerintahan Indonesia, sambungnya, juga memakan biaya yang sangat besar lantaran masih ada konfrontasi militer dengan penjajah. Situasi itu menyebabkan perekonomian Indonesia lebih banyak dibiayai menggunakan utang dan defisit APBN mengalami tekanan luar biasa berat.

Ketika itu, pemerintah tidak bisa langsung menjual Surat Utang Negara (SUN) untuk menambal defisit sehingga BI ditugaskan mencetak uang dalam jumlah besar. Peredaran uang yang lebih banyak itu pada akhirnya menimbulkan inflasi besar.

Baca Juga:
Ada Pemutihan, Pemkot Berhasil Cairkan Piutang Pajak Rp30 Miliar

Pada era Orde Baru, lanjut Sri Mulyani, pemerintah mulai memberlakukan balance budget meskipun belum ada neracanya. Saat itu, belanja pembangunan dapat berjalan asal mendapat pembiayaan dari multilateral atau bilateral.

Namun, nilai tukar rupiah pada APBN selalu dipatok dengan nilai yang sama. Hal itu menyebabkan guncangan ketika terjadi krisis keuangan Asia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sangat lemah.

"Dalam berapa jam, nilai tukar rupiah berubah. Tiba-tiba, liability kita meningkat tapi aset kita tidak meningkat. Terutama pada perusahaan yang cashflow-nya rupiah sementara utangnya dalam bentuk mata uang asing, neracanya pasti akan ambyar," ujarnya.

Perbankan yang mengalami masalah sistemik tersebut kemudian mengharuskan pemerintah melakukan bailout. Kebijakan itu juga menyebabkan biaya utang naik lagi jadi 60%, terutama karena kurs rupiah. Dari krisis keuangan Asia, pemerintah mewariskan kenaikan utang hingga sekitar 100%.

Memasuki era reformasi, terjadi perubahan besar-besaran dalam sistem keuangan negara, setelah pengesahan UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Badan Pemeriksa Keuangan. Menurut Sri Mulyani, 3 UU itulah yang menjadi pilar pilar keuangan Indonesia.

Pada 2004, akhirnya APBN mulai membangun sebuah neraca untuk pertama kali. "Bisa dibayangkan negara yang sudah merdeka kala itu, sampai puluhan tahun, baru pertama kali membangun neraca," imbuhnya.

Pembenahan keuangan negara terus berjalan, terutama disiplin fiskal dengan defisit di bawah 3%. Hanya dalam kondisi yang luar biasa akibat pandemi Covid-19 saat ini, melalui Perpu No. 1/2020, pemerintah memperlebar defisit anggaran menjadi di atas 3%. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

16 Oktober 2020 | 18:55 WIB

berarti boleh dibilang sebwlum 2004 Indonesia telah kehilangan aset yang tidak tercatat, kalau neraca saja baru dibuat di tauun 2004

15 Oktober 2020 | 22:17 WIB

Sangat sedih jika melihat kenyataan bahwa Indonesia sudah memiliki hutang yang besar bahkan sebelum negara ini lahir. Ditambah keterlambatan pengembangan mengenai keuangan dan perbendaharaan di Indonesia. Menutup hutang dengan hutang terkadang menjadi pilihan yang harus diambil. pembenahan keuangan selalu mengalami langkah yang terjal. Apalagi melihat keadaan sekarang karena adanya virus Covid-19 yang membuat roda perekonomian terguncang. Negara ini harus lebih bersinergi dan berstrategi. Sulit mencari orang-orang unggul yang serius meningkatkan taraf hidup negara ini, bukan hanya membuat kaya diri sendiri.

14 Oktober 2020 | 23:45 WIB

gak ada relevansinya..dgn judul itu..namun yg perlu dibahas bgmn menyelesaiakn pembiayaan dlm APB (sources) ..kwajiban mau dibayar dgn instrumen hutang lagikah,? atau mau cari sumber2 lainnya yg potensial..? penerimaan DN masih sll menunjukan defisit.. Rcn Pen Pajak juga alami penurunan..apalagi diikatkan dgn USD value...artinya..bgmn bayar kwajiban ketika nilai rupiah smkin terpuruk.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:30 WIB KOTA BATAM

Ada Pemutihan, Pemkot Berhasil Cairkan Piutang Pajak Rp30 Miliar

Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 08:30 WIB KPP PRATAMA BADUNG SELATAN

Kantor Pajak Minta WP Tenang Kalau Didatangi Petugas, Ini Alasannya

BERITA PILIHAN
Jumat, 27 Desember 2024 | 13:30 WIB UU HKPD

Berlaku Mulai 5 Januari 2025, Begini Penghitungan Opsen Pajak

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:30 WIB LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN

Masih Ada Fasilitas Kepabeanan Tak Dimanfaatkan, DJBC Beri Penjelasan

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:00 WIB PMK 81/2024

Catat! Dokumen WP Badan Era Coretax Diteken Pakai Sertel Pengurus

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 168/2023

Penghitungan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap untuk Masa Pajak Desember

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Analisis Kesebandingan dalam Tahapan Penerapan PKKU

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jamin Stimulus Ekonomi Efektif, Birokrasi Penyaluran Perlu Dipermudah

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Maret 2024: Pemerintah Rilis Ketentuan Baru terkait Akuntansi Koperasi

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN DAN CUKAI

Reformasi Berkelanjutan DJBC, Kolaborasi Lintas Sektor Jadi Kunci

Jumat, 27 Desember 2024 | 09:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Tahun Baru, PTKP Baru? Catatan bagi yang Baru Menikah atau Punya Anak

Jumat, 27 Desember 2024 | 09:07 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Coretax Diterapkan 1 Januari 2025, PKP Perlu Ajukan Sertel Baru