- Beneficial Owner menurut Perpres No. 13 Tahun 2018
- Konsep Pemilik Manfaat yang terkandung dalam Perpres No. 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPU) dan Tindak Pidana Terorisme (TPM) (selanjutnya disebut Perpres No. 13/2018) tercantum pada Pasal 1 angka 2 tentang definisi Pemilik Manfaat, di mana ditekankan pada orang perseorangan yang memiliki sebenarnya atas dana atau saham korporasi sebagai akibat dari kepemilikan tiga kewenangan, yaitu: (i) menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada Korporasi, (ii) memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi, dan (iii) berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi baik secara langsung maupun tidak langsung.
- Berdasarkan Perpres No. 13/2018, secara keseluruhan, orang perseorangan dapat dikatakan sebagai Pemilik Manfaat apabila ia memiliki penghasilan dan/atau keuntungan akibat kepemilikan lebih dari 25% saham, modal, kekayaan awal, sumber pendanaan, atau hak-hak lain yang dapat menimbulkan keuntungan dari korporasi. Di samping itu, meskipun orang perseorangan tidak memiliki kekayaan di korporasi, ia juga dikategorikan sebagai Pemilik Manfaat jika ia memiliki kewenangan tidak terbatas terkait penunjukan perangkat pengurus korporasi dan pengendalian korporasi tanpa harus mendapat persetujuan dari otoritasi dari pihak manapun, atau merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan korporasi.
- Adapun ruang lingkup korporasi dalam Perpres No.13/2018 meliputi perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, korporasi, persekutuan komanditer, persekutuan firma, dan bentuk korporasi lainnya. Pemilik manfaat ini merupakan orang/individu, bukan badan.
- Konsep Pemilik Manfaat yang diatur di dalam Perpres No. 13/2018 berangkat dari konsep Beneficial Owner (BO) yang diatur dalam Financial Action Task Force (FATF) Recommendations. Ada dua kesamaan konsep antara Perpres 13/2018 dengan FATF Recommendation. Pertama, menurut FATF Recommendation, BO merujuk pada orang perseorangan yang secara ultimate memiliki atau mengendalikan pihak lain (ultimate owns or controls), dan/atau orang perseorangan yang kepentingannya dikendalikan oleh orang lain. Selain itu, BO juga merujuk pada orang perseorangan yang melaksanakan kendali efektif secara keseluruhan (ultimate effective control) terhadap pihak lain atau atas pengaturan hukum. Kedua, istilah ultimate owns or controls dan ultimate effective controlmenggarisbawahi pada suatu keadaan di mana pelaksanaan kepemilikan atau pengendalian dilakukan baik melalui kendali langsung maupun tidak langsung.
- Di samping itu, pembuatan konsep Pemilik Manfaat menurut Perpres No. 13/2018 juga memiliki latar belakang yang sama dengan pembuatan pengertian BO di dalam FATF Recommendations. Kedua aturan tersebut menyatakan bahwa pengungkapan BO harus dilakukan oleh korporasi. Sebab, korporasi dapat dijadikan alat baik langsung maupun tidak langsung oleh pelaku tindak pidana yang merupakan BO atau Pemilik Manfaat yang melakukan TPU dan TPM. Dengan demikian, tujuan dari pembuatan Perpres No. 13/2018 dan FATF Recommendations adalah untuk mencegah TPU dan TPM.
- Selanjutnya, cara pengungkapan BO yang diatur dalam Perpres No. 13/2018 dapat dilakukan dengan kerja sama dan permintaan informasi Pemilik Manfaat. Untuk mencegah dan memberantas TPU dan pendanaan TPM oleh Korporasi, instansi berwenang dapat melakukan pertukaran informasi dengan instansi peminta baik lingkup nasional maupun internasional. Tentunya, pertukaran informasi tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ketika dalam lingkup nasional dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang luar negeri dan perjanjian internasional dalam lingkup internasional.
- Perbedaan Konsep dan Konteks
- Konsep BO sering dipergunakan (maupun disalahartikan) dalam dua konteks: pajak (dalam hal ini perjanjian penghindaran pajak berganda/P3B) serta pencucian uang. Dalam ranah P3B, BO mengacu pada penerima penghasilan yang mempunyai keleluasaan untuk menggunakan maupun memanfaatkan penghasilan yang diterima sesuai keputusannya sendiri dan tanpa adanya kendala oleh adanya ikatan kontrak atau kewajiban secara hukum untuk meneruskan penghasilan tersebut kepada pihak-pihak lain. Sedangkan dalam konteks pencucian uang, seperti yang tertera pada Financial Action Task Force (FATF) Recommendation, BO mengacu pada
“natural person(s) who ultimately owns or controls a customer and/or the natural person on whose behalf a transaction is being conducted. It also includes those persons who exercise ultimate effective control over a legal person or arrangement.”
Penting untuk diketahui bahwa terminologi ‘ultimately’ mengacu pada “ultimately owns or controls” and “ultimate effective control” refer to situations in which ownership/control is exercised through a chain of ownership or by means of control other than direct control.” Dari penjelasan ini, dapat dinyatakan bahwa terdapat penekanan pada pihak yang memiliki atau mengendalikan (economic control) pihak yang terlibat dalam suatu transaksi atau transaksi itu sendiri. Definisi ini lebih menitikberatkan pada tujuan untuk mengetahui aliran uang sehingga bisa membuktikan pihak yang sesungguhnya menjadi penerima atau pengendali dari transaksi.
- Di sisi lain, konsep BO dalam P3B juga berkaitan erat dengan economic control atau sering dianggap sebagai pihak yang memiliki keleluasaan (discretion) dan pengendalian (control) atas pemanfaatan dan penggunaan penghasilan yang diterima. Hal ini seperti tertera dalam OECD Model 2014 yang dipergunakan sebagai acuan dalam pengertian internasional. Penting untuk diperhatikan bahwa BO dalam konsep P3B bertujuan untuk mencegah adanya treaty abuse (penyalahgunaan P3B).
- Dalam Commentary atas Pasal 10, 11, dan 12 dari OECD Model 2014 yang juga mengacu pada usulan perubahan Commentaries OECD Model 2012 juga dijelaskan bahwa definisi BO haruslah mengacu pada konsep yang diakui secara internasional (international meaning) dan tidak mengacu pada ketentuan domestik dari yurisdiksi yang mengadakan P3B. Definisi yang tertera dalam ketentuan domestik hanya bisa dipergunakan selama selaras dengan konteks internasional dan konsisten dengan panduan dalam Commentaries OECD Model. Konsep tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari konteks tujuan dan maksud dari diadakannya P3B yaitu menghindari pemajakan berganda sekaligus mencegah pengelakan dan penghindaran pajak.
- Putusan-putusan pengadilan atas sengketa BO sejauh ini tidak memberikan suatu pemaknaan terminologi BO, namun lebih kepada suatu alat bantu interpretasi bagi komunitas pajak internasional. Hal ini dapat dilihat dari putusan pengadilan atas kasus BO yang terkenal: Indofood, Prevost, dan Velcro. Terdapat beberapa hal menarik dari putusan-putusan pengadilan yang dapat dijadikan alat bantu interpretasi atas BO: (i) bahwa konsep BO seharusnya tidak ditinjau melalui pengujian substansi ekonomi; (ii) konsep BO seharusnya diartikan berdasarkan pemahaman dari sudut pandang internasional dan bukan melalui ketentuan domestik dari negara yang mengadakan P3B; dan (iii) BO harusnya ditentukan dari hasil pengujian atas keleluasaan dan pengendalian atas dana yang diterima oleh perusahaan perantara.
Tabel 1 - Konsep BO
Tabel 2 - Perbedaan Konsep dan Konteks BO dan UBO
- Terminologi BO dalam P3B tidak dimaksudkan untuk mengacu pada pembuktian substansi ekonomis (aktivitas aktif yang dimiliki penerima penghasilan, kepemilikan kantor, atau jumlah pegawai yang ‘layak’ untuk mengelola bisnis, dan sebagainya), namun lebih mengacu pada bagaimana perusahaan perantara memiliki keleluasaan (discretion) dan pengendalian (control) atas penghasilan/dana yang diterimanya. Lebih lanjut lagi, derajat keleluasaan dan pengendalian tersebut juga harus dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat mengikat secara hukum atau kontraktual. Misalkan diuji dengan pertanyaan: apakah perusahaan perantara diwajibkan secara kontrak hukum untuk meneruskan pembayaran kepada pemegang saham dan apakah perusahaan perantara benar-benar menerima aliran dana masuk ke dalam akun bank yang dimilikinya.
- Perbedaan utama dari kedua konsep tersebut terletak pada dua hal, yaitu: (i) penggunaan istilah ultimate, serta (ii) kehadiran ikatan hukum atau kontrak. Definisi BO menurut P3B tidak melibatkan terminologi ultimate (penerima akhir), karena setiap penerima penghasilan bisa saja secara bebas mengalirkan penghasilannya kepada orang lain. Kriteria penting lain dalam P3B adalah: kehadiran ikatan hukum atau kontrak yang bisa mengurangi keleluasaan tersebut. Jadi, tidak semata-mata mengacu pada substansi aliran penghasilan, namun lebih melihat apakah ada perikatan yang mewajibkan hal tersebut.
- Singkatnya, konsep BO dalam P3B dan UBO dalam Perpres 13/2018 adalah sesuatu yang berbeda. Hal ini seperti dikutip dari Danon (2011): “The discussion draft also clarifies that beneficial and ultimate beneficial ownership are not to be equated”. Hal ini juga telah dinyatakan pada Paragraf 12.6 OECD Commentary on Article 10: “The above explanations concerning meaning of “beneficial owner” make it clear that the meaning given to this term in the context of the Article must be distinguished from different meaning that has been given to that term in the context of other instruments that concern the determination of the persons (typically the individuals) that exercise ultimate control over entities and assets.”
- Pengungkapan Pemilik Manfaat dalam Perpres No. 13/2018 dan Kaitannya dalam Konteks Pertukaran Informasi Pajak
- Konsep Pemilik Manfaat yang dipaparkan di dalam Perpres No. 13/2018 tidak mengatur secara eksplisit terhadap sektor pajak. Meski demikian, dalam konteks pajak, keberadaan Perpres No. 13/2018 dapat mencegah dan/atau menutup celah penggelapan dan/atau penghindaran pajak yang seringkali dilakukan oleh Pemilik Manfaat. Tidak tertutup kemungkinan, pencegahan aktivitas penghindaran dan penggelapan pajak dapat diselesaikan melalui kerja sama pertukaran informasi antara instansi berwenang dengan instansi peminta, yang salah satunya otoritas pajak (instansi pemerintah) seperti layaknya pencegahan dan/atau pemberantasan TPU dan TPM. Selanjutnya, pemberian informasi Pemilik Manfaat secara elektronik maupun non elektronik oleh instansi berwenang dilakukan melalui pemberian hak akses kepada otoritas pajak.
- Dalam konteks pertukaran informasi secara internasional (exchange of information/EoI), efektivitas penelusuran BO bisa meningkat terutama karena meningkatkan transparansi di sektor pajak. Walau demikian, jika kita melihat perkembangan implementasi EoI agaknya hal tersebut belum menyentuh upaya untuk menelusuri BO. Betul bahwa prospek automatic exchange of information/AEoI cukup menggembirakan, namun yang harus diingat adalah: AEoI baik untuk informasi keuangan (dalam konteks Common Reporting Standard/CRS) ataupun laporan laba perusahaan multinasional (dalam konteks Country by Country Reporting), tidak mewajibkan adanya suatu pengungkapan informasi atas penerima penghasilan yang memiliki kendali dan keleluasaan. CRS misalkan, hanya mengacu pada informasi nasabah yang berkaitan dengan penghasilan dan saldo rekening saja. Di sisi lain, dalam konteks Exchange of Information by Request (EoIR), di 2016 terdapat suatu komitmen antara Financial Action Task Force (FATF) dan Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes (Global Forum) untuk menciptakan ketersediaan data serta dilaksanakannya pertukaran informasi atas BO. Di saat yang bersamaan, OECD (yang disokong oleh G20) juga melakukan kajian dalam menciptakan format standar data elektronik yang memudahkan pencarian informasi kepemilikan dan disokong oleh G20.
- Ada 3 pilar dalam proposal Global Forum terkait BO: (i) memperbaiki penerapan pertukaran informasi BO melalui peer review, termasuk di dalamnya adanya persyaratan atas BO pada EoIR review putaran kedua yang dimulai 2016/7, pelatihan dalam upaya penilaian dan kualifikasi BO, dan sebagainya; (ii) memastikan kerjasama yang erat antara FATF dan Global Forum; serta (iii) memfasilitasi penerapan pertukaran informasi BO melalui asistensi serta memberikan contoh dan gambaran sukses.
- Pengaturan eksplisit tentang pentingnya ketersediaan informasi Pemilik Manfaat atau BO diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.03/2018 (selanjutnya disebut PMK No. 19/2018) tentang Perubahan kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Dalam PMK No. 19/2018, Pemerintah mengatur ketentuan atas pertukaran informasi keuangan agar dapat mengetahui kewajiban perpajakan wajib pajak, baik individu maupun badan. Bahkan, PMK No. 19/2018 telah sesuai dengan Guidance (Exchange of Information on Request (EOIR)) yang ditetapkan dalam The Global forum on transparency and exchange of information for tax purposes, di mana salah satu komponen yang ditetapkan yaitu adanya ketersediaan data kepemilikan manfaat secara hukum dan ekonomis dari sebuah perusahaan, partnership, trusts, yayasan, dan bentuk hukum dan pernyataan hukum lainnya.
- Studi Kasus Sengketa Pajak terkait BO
- Dalam kasus pajak, bisa terjadi suatu sengketa interpretasi atas pihak yang dianggap sebagai BO, sebagai akibat dari perbedaan konsep BO terkait dengan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang maupun upaya pencegahan penyalahgunaan P3B. Sebagai contoh, misal PT XYZ yang berkedudukan di Indonesia membayar bunga atas suatu pemberian pinjaman yang diberikan oleh UVW Corp yang berkedudukan di Singapura. UVW Corp ini memiliki pengendalian sebesar 51% atas PT XYZ. Adanya P3B antara Indonesia-Singapura menyebabkan adanya reduced rate atas penghasilan bunga. Di sisi lain, UVW Corp juga dimiliki secara mayoritas oleh Mr. WX yang berkedudukan di Bermuda. Dalam kasus ini, apakah transaksi antara PT XYZ dan UVW Corp dapat menerapkani P3B Indonesia-Singapura? Lantas, siapa yang dianggap sebagai BO?
- Dengan asumsi bahwa: UVW Corp merupakan korporasi yang memiliki keleluasaan (discretion) dan pengendalian (control) atas penghasilan bunga yang diterimanya, serta diikat secara hukum, maka dapat disimpulkan bahwa UVW Corp telah memenuhi syarat BO dalam konteks P3B. Hal ini juga turut didukung oleh argumen sebagai berikut: (i) Perpres 13/2018 menggunakan konsepUltimate Beneficial Owner (UBO) yang merupakan pemilik manfaat (akhir) dari suatu transaksi. Padahal, dalam konsep pajak internasional, terminologi BO merupakan sesuatu yang berbeda dengan UBO dan masih bisa dimungkinkan berupa pihak perantara. (ii) Dalam konteks sengketa P3B seharusnya tunduk terhadap P3B (jika ada) dengan negara mitra. Perpres 13/2018 sebetulnya tidak serta merta dapat menjadi dasar hukum dalam penentuan BO dalam konteks P3B, karena P3B bersifat lex specialis di hadapan ketentuan domestik. (iii) Perbedaan tujuan, BO dalam konsep Perpres 13/2018 tidak dimaksudkan untuk menelusuri apakah suatu transaksi dapat menikmati suatu fasilitas P3B atau tidak, namun lebih menelusuri mengenai aliran transaksi sebagai upaya menemukan penerima manfaat akhir (dari korporasi).
- Selama UVW Corp bisa dibuktikan sebagai BO dalam konteks P3B maka Mr WX tidak dapat dikategorikan sebagai BO untuk tujuan P3B yang dapat membatalkan fasilitas P3B yang seharusnya memang dapat diterima oleh UVW Corp. Berikut ilustrasi studi kasus di atas disajikan dalam Gambar 2 di bawah ini:
Gambar 1 - Ilustrasi Sengketa Interpretasi Konsep BO
- Apakah Multilateral Instrument (MLI) dapat Berdampak pada Penentuan BO?
- BEPS Action Plan 6 mengusulkan perubahan sebagai berikut: (i) perubahan judul P3B: Prevention of Double Taxation and Double Non-Taxation; dan (ii) penambahan klausul anti penghindaran pajak di dalam P3B berupa: Limitation of Benefit Rule (LOB) dan/atau Principal Purpose Test (PPT).
- BEPS Action Plan 6 merupakan minimum standard yang akan diterapkan oleh semua negara anggota G20, OECD, maupun negara-negara lain yang turut serta dalam multilateral instrument. Penerapan BEPS Action Plan 6 tersebut akan dilakukan melalui mekanisme BEPS Action Plan 15, yaitu multilateral instrument (“MLI”). Nantinya MLI akan merubah setiap P3B yang disepakati untuk dicakup dalam MLI tersebut (“Covered tax agreement/ CTA”).
- Indonesia telah memilih 33 negara untuk dimasukkan dalam CTA. Dari 33 negara tersebut, terdapat 22 negara yang memasukkan Indonesia sebagai negara CTA dalam daftarnya masing-masing. Dengan demikian, dampak perubahan P3B Indonesia diperkirakan hanya sebatas 22 negara tersebut (Afrika Selatan, Australia, Belanda, Belgia, China, Finlandia, Hong Kong, India, Inggris, Italia, Jepang, Kanada, Korea, Kroasia, Luxemburg, Perancis, Polandia, Selandia Baru, Seychelles, Singapura, Slovakia, dan Turki).
- MLI akan berlaku secara efektif 3 bulan setelah Indonesia dan negara CTA telah mendaftarkan instrumen ratifikasinya kepada OECD. Sementara itu, MLI pertama kali berlaku secara efektif pada tanggal 1 Juli 2018 untuk 5 negara yaitu Slovenia, Austria, Isle of Man, Jersey dan Polandia, yang telah mendaftarkan instrumen ratifikasinya kepada OECD (Status 22 Maret 2018).
- Sepanjang, MLI belum berlaku bagi Indonesia, BEPS Action Plan 6 tidak merubah isi P3B Indonesia. Hal ini berarti bahwa interpretasi purposive terkait perubahan judul P3B double non-taxation maupun klausul PPT seharusnya tidak dapat diterapkan (walaupun PPT sudah terdapat dalam peraturan domestik Indonesia PER-61/2009 sebagaimana diubah terakhir dengan PER-24/2010 dan PER-10/2017).
- Setelah MLI berlaku secara efektif untuk Indonesia, perubahan judul P3B “prevention of double non-taxation” perlu dipertimbangkan dalam interpretasi P3B. Suatu P3B setelah Proyek Anti-BEPS dipengaruhi oleh konsep single tax principle. Konsep ini berpendapat bahwa penghasilan harus dikenakan pajak minimal sekali untuk mencegah adanya double non-taxation (Avi-Yonah, 2015). Konsep anti-penghindaran pajak yang diletakkan pada single tax principle tersebut kemudian menciptakan suatu justifikasi dan dorongan bahwa dalam penghasilan lintas yurisdiksi harus dikenakan pajak setidak-tidaknya sekali, terlepas bahwa siapakah pengendali dan penerima manfaat akhir atas transaksi tersebut. Adanya perubahan ini secara tersirat dapat terlihat dari pasal-pasal dalam MLI.