Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Selain belum optimal, kinerja pajak daerah di Indonesia masih menyisakan persoalan ketimpangan horizontal yang cukup besar.
Besarnya ketimpangan horizontal itu menjadi salah satu temuan dari kajian terbaru DDTC bertajuk Mempertimbangkan Reformasi Pajak Daerah berdasarkan Analisis Subnational Tax Effort. Download DDTC Working Paper 2421 di sini.
Hasil kajian itu menunjukkan rata-rata indeks tax effort, sebagai salah satu ukuran kinerja pajak daerah, masih lebih kecil daripada 1. Hasil ini menyiratkan kinerja pajak masih belum optimal sehingga terdapat potensi pajak yang belum berhasil dikumpulkan oleh daerah
“Di sisi lain, tren peningkatan tax effort di seluruh daerah antarwaktu juga patut untuk diapresiasi,” tulis penulis DDTC Working Paper tersebut, dikutip pada Selasa (14/9/2021).
Dalam mengestimasi indeks tax effort, kajian ini menggunakan sampel pada 113 kabupaten/kota yang berada di Pulau Jawa (kecuali DKI Jakarta) pada periode 2015-2019. Pada 2014, rata-rata tax effort di kabupaten/kota Pulau Jawa diperkirakan memiliki nilai 0,34. Angka itu kemudian naik pada 2019 menjadi 0,57.
Dalam DDTC Working Paper ini dipaparkan adanya gap yang besar pada indeks tax effort antardaerah. Meskipun sebagian besar daerah masih dikategorisasikan pada tingkat tax effort yang rendah, beberapa daerah yang memiliki indeks tax effort yang cukup tinggi.
Daerah yang memiliki indeks tax effort tinggi meliputi Kota Surabaya (1,11), Kota Yogyakarta (0,92), Kota Cilegon (0,88), Kota Tangerang Selatan (0,89), dan Kota Bandung (0,88). Sebaliknya, 5 daerah memiliki tax effort terendah, yakni sekitar 0,27 hingga 0,28.
Dari hasil kajian tersebut, daerah-daerah yang memperoleh indeks tax effort tinggi masih didominasi oleh wilayah perkotaan dan daerah dengan tingkat pendapatan tinggi. Pola tax effort yang relatif timpang di Pulau Jawa—khususnya antara kabupaten dan kota—dapat menjadi potret ketimpangan horizontal yang nyata di Indonesia.
Sayangnya, skema revenue assignment di Indonesia masih diklasifikasikan berdasarkan pada tingkat pemerintahan, yakni daerah tingkat I (provinsi) dan daerah tingkat II (kabupaten/kota). Skema yang dibentuk tanpa melihat dimensi permasalahan dan perbedaan karakteristik ekonomi antara wilayah kabupaten dan kota.
Persoalan ketimpangan horizontal ini dapat menjadi catatan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (RUU HKPD) yang tengah dibahas pemerintah dan DPR.
Dalam DDTC Working Paper ini juga ditunjukkan adanya hasil yang kontras tersebut karena berbagai faktor penentu kinerja penerimaan daerah. Faktor penentu ini seperti distribusi ekonomi, basis pajak, tingkat edukasi, serta populasi yang tidak merata antardaerah.
“Artinya, upaya untuk melakukan pembenahan pada faktor-faktor ekonomi, demografi, dan kelembagaan tersebut juga perlu diperhatikan dalam meningkatkan kinerja pajak daerah,” imbuh penulis.
Sebagai informasi kembali, DDTC Working Paper ini disusun oleh Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji, Manager DDTC Fiscal Research Denny Vissaro, dan Researcher DDTC Lenida Ayumi. Simak ‘Mau Tahu Kinerja Pajak Daerah di Indonesia? Baca Kajian DDTC ini’. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.