Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Tren pemberian insentif pajak untuk penelitian dan pengembangan di negara-negara OECD mengalami peningkatan.
Dalam laporan ‘Corporate Tax Statistics’ edisi pertama, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memaparkan tren pada tingkat global, terutama negara-negara OECD, tentang pemberian insentif untuk penelitian dan pengembangan (research and development/R&D).
OECD mencatat insentif pajak untuk R&D telah menjadi instrumen kebijakan yang mulai digunakan oleh banyak negara untuk mempromosikan dan memperkuat bisnis R&D itu sendiri. Selang hampir 2 dekade terakhir, jumlah yurisdiksi yang memberikan insentif untuk R&D makin banyak.
“Pada 2018, sebanyak 30 dari 36 yurisdiksi OECD menawarkan keringan pajak untuk pengeluaran R&D, dibandingkan dengan 19 yurisdiksi pada 2000,” tulis OECD dalam laporan tersebut, seperti dikutip pada Senin (21/1/2019).
Mayoritas yurisdiksi menggunakan kombinasi dukungan langsung dan keringanan pajak dengan bauran kebijakan yang bervariasi. Pada 2006, rata-rata insentif pajak untuk R&D mengambil porsi 36%. Sisanya, yakni 64% berupa dukungan langsung. Pada 2016, porsi penggunaan insentif pajak naik menjadi 46%.
Volume dukungan pajak untuk R&D negara-negara OECD, masih dalam laporan tersebut, mengalami peningkatan 70% selama satu decade terakhir hingga mencapai US$45 miliar (sekitar Rp640,5 triliun). Dukungan langsung pun meningkat 10% menjadi US$52 miliar (sekitar Rp739,8 triliun) pada 2016.
“Hal ini disebabkan penyerapan yang lebih tinggi dan peningkatan keringanan pajak untuk R&D. Dalam beberapa tahun terakhir, tren telah stabil,” katanya.
Di dalam negeri, pemerintah berencana memberikan insentif super deductible tax untuk pendidikan vokasi serta R&D. Namun, hingga saat ini, rencana tersebut tak kunjung direalisasikan. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan keputusan berada di tangan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Dengan insentif ini, setiap biaya yang dikeluarkan pengusaha untuk kegiatan vokasi atau R&D dapat mengurangi beban pajak yang harus dibayarkan antara satu hingga dua kali lipatnya. Namun, keputusan formula tersebut hingga saat ini masih belum pasti. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.